PERKEMBANGAN ISLAM MASA BANI
ABBASIYAH
A. Proses berdirinya Bani Abbasiyah
Lahirnya Bani
Abbasiyah tahun 750 M, adalah peran besar dari keturunan Hasyim yang bernama
Abu Abbas. Nama Abbasiyah yang dipakai untuk nama bani ini adalah di ambil dari
nama bapak pendiri Abbasiyah yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad
Saw. Proses lahirnya Abbasiyah di mulai dari kemenangan Abu Abbas assafah dalam
sebuah perang terbuka (al-Zab) melawan khalifah Bani Umayyah yang terakhir
yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar assafah karena dia pemberani
dan dia mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan politiknya. Semua lawan
politiknya di perangi dan di kejar-kejar, diusir keluar dari wilayah kekuasaan
Abbasiyah yang baru yang baru direbut dari Bani Umayyah I.
Berdirinya
Bani Abbasiyah tahun 750 M berarti secara formal semua wilayah kekuasaan Islam
berada di bawah pemerintaan Abbasiyah termasuk semua bekas wilayah Bani Umayyah
I kecuali wilayah Bani Umayyah yang ada di Andalusia.
Proses
pengembangan peradaban yang dibangun oleh Bani Abbasiyah begitu cepat membawa
perubahan besar bagi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan selanjutnya.
Bediri Bani Abbasiyah selama 505 tahun diperintah oleh 37 khalifah dengan mampu
menciptakan peradaban yang menjadi kiblat dunia pada saat itu, peradaban yang
dikenang sepanjang masa. Pada waktu itu suasana belajar kondusif, fasilitas
belajar disediakan pemerintah
dengan lengkap. Motivasi
belajar menjadi penyogok
gairahnya masyarakat untuk belajar.
Mereka myarakat mendatangi tempat-tempat belajar seperti kuttab, madrasah
maupun perguruan tinggi seperti universitas. Universitas yang terkenal pada
saat itu adalah Nizamiyah yang dibangun oleh perdana menteri Nizamul Muluk dari khalifah Harun al- Rasyid. Khalifah
Harun al-Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu
pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar seperti;
sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan terjemahan.
Abu Abbas
assafah sebagai pendiri Bani Abbasiyah masa kepemimpnannya sangat singkat,
hanya 4 tahun beliau memerintah akan tetapi mampu menciptkan suasana dan
kondisi Abbasiyah yang seteril dari keturunan Bani Umayyah sebagai lawan
politik yang baru di kalahkan dan dikuasainya. Sikap tegas dan berani yang
ditunjukkan oleh Khalifah Abu Abas Assafah ketika membuat kebijakan pada saat
berdirinya Bani Abbasiyah dengan berani memberantas semua keturunan Umayyah
dari wilayah yang dikuasainya. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat
dari suasana pusat wilayah dan rakyat Abbasiyah yang baru menjadi lebih
kondusif dan perkembangan peradaban dapat dikendalikan oleh Khalifah Abu Abbas
Assafah.
Keberhasilan
Abu Abbas menaklukkan daulah Umayyah I ternyata mendapat dukungan besar dari
tantara bayaran yang sengaja di datangkan oleh Abu Abbas, seperti Abu Muslim
al-Khurasany. Abu Muslim adalah relawan berkebangsaan Persia yang sengaja
disewa oleh keluarga Abbasiyah untuk membantu menaklukkkan kekuasaan Bani
Umayyah I.
B. Kebudayaan Islam pada masa Bani Abbasiyah
Dinamakan khilafah Abbasiyah
karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas paman Nabi
SAW. Berikut merupakan khalifah-khalifah yang memimpin Bani Abbasiyah:
1. Abul Abbas As Saffah (750-754 M)
Dia bernama Abdullah bin Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas, Khalifah pertama pemerintahan Abbasiyah.
Ayahnya adalah orang yang melakukan gerakan untuk mendirikan
pemerintahan Bani Abbasiyah
dan menyebarkan kemana-mana. Inilah yang membuat Abdullah
banyak mengetahui tentang gerakan ini dan rahasia rahasianya. Dia
diangkat oleh saudaranya
yang bernama Ibrahim
sebelum dia ditangkap oleh
pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H / 746 M. Tertangkapnya Ibrahim membuat
Abdullah harus berangkat ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya secara
rahasia.
Pada masa pemerintahannya, saat
pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan dan Irak, dia keluar dari persembunyiannya
dan dibaiat sebagai Khalifah pada tahun
132 H/
749 M. Setelah
itu dia mengalahkan
Marwan bin Muhammad
dan menghancurkan pemerintahan Bani Muawyah pada tahun yang sama. Abu
Abbas Assyafah meninggal pada tahun 136 H / 753 M.
2. Abu Ja‟far Al Manshur (754-775 M)
Abu Ja‟far Al-Manshur menjabat
Khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul Abbas As Saffah. Abu
Ja‟far Al Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin
Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al- Imam dan Abul Abbas
As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah.
Ketika Khalifah
Abul Abbas As
Saffah meninggal, Abu
Ja‟far sedang menunaikan ibadah
haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang pertama kali
dilakukan Khalifah Abu Ja‟far Al-Manshur setelah dilantik menjadi Khalifah pada
136 H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah.
Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa
pemerintahannya terjalin kerjasama erat antara pemerintah pusat dan daerah.
Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak,
dan kepala-kepala dinas lainnya.
Selama masa
kepemimpinannya, kehidupan masyarakat
berjalan tenteram, aman dan
makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak
ada gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan. Khalifah Abu Ja‟far
Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi batu
sandungan Bani Abbasiyah dan
dirinya. Menjelang pengujung
158 H, Khalifah
Abu Ja‟far Al Manshur berangkat
ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu
meninggal dunia. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun.
Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di Baghdad.
3. Muhammad Al-Hadi
Dia bernama Muhammad Al-Mahdi bin
al-Mansur. Dilantik sebagai Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya pada tahun
158 H/ 774 M. Dia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan pemurah.
Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat stabil, dan
tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. Dia berhasil mencapai
kemenangan kemenangan atas orang orang Romawi. Anaknya, Harun Ar-Rasyid adalah
panglima perang dalam penaklukan ini. Dia sampai ke pantai Marmarah dan berhasi
melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang bersedia untuk membayar
jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tahun 169 H /
785 M setelah memerintah selama 10 tahun beberapa bulan.
4. Musa Al-Hadi
Dia adalah
Musa Al-Hadi bin
Muhammad Al-Mahdi yang
dilantik sebagai Khalifah setelah
ayahnya. Pada masa itu, terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali bin Husein
bin Hasan bin Ali di Makkah dan Madinah. Dia menginginkan agar pemerintahan
berada di tangannya. Namun Al-Hadi mampu menaklukannya dalam perang Fakh pada
tahun 169 H / 785 M. Pada saat yang sama juga Yahya bin Abdullah melakukan
pemberontakan di Dailam. Maka, Al-Hadi memberangkatkan Ar-Rasyid sampai Yahya
bin Abdullah mampu ditaklukan. Musa Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H / 786 M.
5. Harun Al-Rasyid
Dia bernama Harun Ar Rasyid bin
al-Mahdi, dia mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya pemerintahan Islam
mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai
sebelumnya. Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. Dia
telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada saat baru berumur
20 tahun. Dia pun dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam
segala perkara. Pada masa pemerintahannya adalah masa yang sangat tenang dan
stabil, hanya ada beberapa pemberontakan kecil yang tidak berarti
apa apa, di antaranya adalah
pemberontakan Yahya Abdullah, kaum Khawarij, orang- orang Zindik, dan
pemberontakan di Kharasan. Sebelum meninggal, dia mewariskan kekuasaan kepada
kedua anaknya, Al-Amin dan Al Makmun. Hal ini menjadi fitnah yang bertiup
kencang yang terjadi antara dua saudara ini setelah kematiannya. Harun
meninggal pada tahun 193 H / 808 M setelah memerintah selama 23 tahun.
6. Muhammad Al-Amin
Dia bernama Muhammad Al-Amin bin
Harun Ar-Rasyid. Ayahnya telah membaiatnya sebagai Khalifah, lalu untuk
saudaranya Al Makmun, kemudian untuk Qasim. Dia diberi kekuasaan di Irak,
sedangkan Al-Makmun di Kharasan. Namun, ada salah seorang menteri Al-Amin yang
mendorongnya untuk mencopot posisi putera mahkota dari adiknya dan
memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Al- Amin termakan tipuan ini,
dan Al-Amin segera memberontak. Pada tahun 195 H/ 810 M, Al-Amin mengirimkan
dua pasukan untuk memerangi saudaranya, namun berhasil dihancurkan oleh Thahir
bin Husein, panglima perang Al-Makmun. Al-Amin sendiri dikenal sebagai
seorang yang suka
berfoya-foya serta banyak
melalaikan urusan negara. Sehingga
setelah lima tahun ia memerintah, kekhalifahannya digantikan oleh Abdullah Al
Makmun.
7. Abdullah Al-Makmun
Dia bernama Abdullah Al- Makmun
bin Harun Ar- Rasyid. Pada masa pemerintahannya banyak peristiwa peristiwa
penting yang terjadi, pertama adalah pemberontakan Bagdad dan penunjukkan
Ibrahim Al Mahdi sebagai Khalifah, kedua Al- Khuramiyah, dan ketiga adanya fitnah
bahwa Al-Quran adalah makhluk. Penaklukan- penaklukan pada masa pemerintahannya
sangatlah terbatas. Dia hanya mampu menaklukan Laz, sebuah tempat di Dailam
pada tahun 202 H/ 817 M. Pada masanya, dia tidak menjadikan anaknya Al- Abbas,
untuk menggantikan dirinya. Dia malah mengangkat saudaranya Al Mu‟tasim karena
bisa melihat bahwa Al Mu‟tasim lebih memiliki banyak kelebihan dibandingkan
anaknya. Setelah berkuasa selama 20 tahun. Al Ma‟mun meninggal pada tahun 218
H/ 833 M.
8. Abu Ishaq Al-Mu‟tasim
Dia bernama Muhammad bin Harun
Ar-Rasyid naik sebagai khalifah setelah mendapat wasiat dari saudaranya. Pada
masa pemerintahannya, dia banyak mengangkat pasukan dari orang orang Turki,
sehingga ini sama artinya dengan meletakkan
semua masalah pemerintahan di
tangan orang-orang Turki
yang berlebihan. Pada waktu itu, Al Mu‟tasim mendukung pendapat bahwa Al
Quran adalah makhluk. Adapun peristiwa
penting pada zaman
pemerintahannya adalah gerakan
Babik Al-Khurami. Penaklukan yang
dilakukan oleh Abu Ishaq Al-Mu‟tasim pada pemerintahannya adalah penaklukan Al
Muriyah yang mana banyak perbuatan yang melampaui batas kesopanan. Kemudian
setelah memerintah selama 9 tahun, Abu Ishaq Al-Mu‟tasim meninggal dunia pada
tahun 227 H / 833 M.
9. Harun Al-Watsiq
Dia adalah Harun bin Muhammad
Al-Mu‟tasim menjadi Khalifah setelah ayahnya Al-Mu‟tasim, pada tahun 227 H/ 841
M. Panglima-pamglima asal Turki pada masanya mencapai posisi-posisi yang sangat
terhormat. Bahkan, Asynas mendapatkan gelar sultan dari Al-Watsiq. Harun
Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H / 846 M setelah memerintah selama 5 tahun.
10. Jakfar Al Mutawakkil
Dia bernama Ja‟far bin Muhammad
Al-Mu‟tasim. Ja‟far Al-Mutawakkil adalah salah seorang yang melarang dengan
keras pendapat yang mentapkan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada masa
pemerintahannya, orang-orang Romawi melakukan penyerangan di Dimyath, Mesir.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 238 H / 852 M. Al- Mutawakkil dibunuh oleh
anaknya yang bernama Al-Muntasir pada tahun 247 H / 861 M (BSE Sejarah
Kebudayaan Islam Kurikulum 2013)
Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur,
khalifah kedua dari pemerintahan Bani Abbasiyah menetapkan tujuh kebijakan
pemerintahan Abbasiyah sebagai kontrol pemerintahan. Dan tujuh kebijakan ini
telah menjadi pedoman bagi 9 khalifah Abbasiyah pada fase pertama dalam
menjalankan pmerintahannya, meskipun mereka tidak melaksanakannya secara utuh
tujuh kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut adalah;
1. Memindahkan pusat kekuasaan Bani Abbasiyah
dari Hasyimiyah ke Bagdad
2. Kota Bagdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah
di buka menjadi kota terbuka untuk semua peradaban dari berbagai bangsa masuk.
Hal ini dilakuan oleh para khalifah melihat pengalaman pola pengembanga budaya
dan ilmu masa Bani Umayyah yang bersifat arab oriented, akibatnya adalah budaya
dan ilmu pengetahuan menjadi lambat berkembang.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sabagai suatu yang
sangat mulia dan berharga. Para khalifah adalah orang-orang yang sangat
mencintai ilmu dan membuka kesempatan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
4. Rakyat diberi beban berfikir serta memperoleh
hak asasinya dalam segala bidang, seperti; aqidah, ibadah, filsafat,
dan ilmu pengetahuan.
5. Para menteri keturunan Persia di beri hak
penuh untuk menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting
dalam memajukan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
6. Berkat usaha khalifah Abbasiyah yang
sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi Islam, pemerintah Abbasiyah memiliki
perbendaharaan harta yang cukup melimpah di baitu maal hasil rampasan perang
dari kemenangan perang.
7. Dalam pengembangan ilmu
pengetahuan para khalifah banyak yang mendukug perkembangan ilmu pengetahuan,
sehingga banyak buku-buku yang dikarang oleh ilmuan dalam lembaga-lembaga ilmu
pengetahuan yang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam
menimbah ilmu pengetahuan.
8. Masyarakat
dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar,
yaitu kelompok petama, kelompok khalifah, terdiri dari
khalifah dan keluarga, para pembesar dan pekerja yang bekerja di istana, mereka
diberi penginapan di dalam wilayah istana (daarul khalifah). Kelompok kedua,
yaitu kelompok masyarakat umum yang terdiri para guru, ulama, petani, buruh,
filosof dan masyarakat pada umumnya. Tujuan dari pembagian menjadi dua kelompok
masyarakat dimaksud agar pembagian tugas menjadi jelas, bukan justru untuk
membuat jarak antara sesama masyarakat Islam atau antara masyarakat Islam
dengan masyarakat non Islam, meskipun kenyataan dalam masyarakat terjadi
dikotomi dalam masyarakat Islam Abbasiyah antara para pemebesar dengan
masyarakat umum terjadi perbedaan kelas masyarakat.
Delapan kebijakan khalifah
Abbasiyah tersebut oleh para pakar sejarah bahwa tujuh kebijakan khalifah itu
mampu meciptakan suasana belajar yang kondusif, memotivasi masyarakat Abbasiyah
untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan mampu membentuk budaya belajar dengan
sesungguhnya bagi masyarakat Abbasiyah pada umumnya.
C. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
tokoh-tokohnya pada masa Bani Abbasiyah
Selama beberapa
dekade pasca berdirinya
pada tahun 132H/750M,
Dinasti Abbasiyah berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat
kontrol atas wilayah- wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan Khalifah
kedua, Abū Ja`far bin `Abdullāh bin Muhamad Al-Mansūr
(137-158H/754-775M), menjadi titik
yang cukup krusial
dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah
besar dalam sejarah kepemimpinannya. Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh
maupun bakal calon musuh serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa
wilayah kedaulatan Abbasiyah, Kedua,
meninggalkan Al-Anbār dan
membangun Baghdad sebagai
ibukota baru, yang beberapa saat kemudian menjadi fokus aktivitas ekonomi, budaya
dan keilmuan dunia Muslim saat itu.
Gerakan penerjemahan yang
kemudian menjadi salah satu ‟ikon‟ kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah juga
tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai Khalifah pertama yang mempelopori
gerakan penerjemahan sejumlah buku- buku kuno warisan peradaban pra-Islam.
Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir,
hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di
era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam
melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum
tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara tegas menyebut
Al-Mansur sebagai Khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap
ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para Khalifah Bani
Umayyah. Ada beberapa faktor kemajuan peradaban Dinasti Bani Abbasiyah,
diantaranya:
1. Faktor Politik
a. Pindahnya ibu kota negara dari al- Hasyimiyah
ke Bagdad yang dilakukan oleh
Khalifah al-Mansyur.
b. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi
pegawai pemerintah dan pegawai istana.
c. Diakuinya Mu‟tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa
al-Makmun pada tahun 827 M.
2. Faktor Sosiografi
a. Meningkatnya kemakmuran umat Islam
b. Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan
banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan kemudian menjadi Muslim
yang taat.
c. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab
dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
d. Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan
ilmu dari peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat
kegiatan intelektual.
Kemajuan dinasti Abasiyyah dalam
bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota
Baghdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Baghdad adalah sebuah kota
yang didirikan atas inisiatif al-Mansur yang terletak di sebelah barat sungai
Tigris dikerjakan selama empat tahun oleh 100 ribu karyawan dan arsitektur
dengan biaya 4000,833 dirham.
Kemajuan Islam zaman Abasiyyah
ini banyak dirintis oleh khalifah Ma‟mun (813-833H) dengan mendirikan pusat
kerajaan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan nama “Darul Hikmah”. Darul
Hikmah ini di samping pusat kerajinan juga sebagai pusat perpustakaan dan
kantor penterjemahan ilmu-ilmu non Arab ke dalam bahasa Arab, seperti filsafat Yunani,
ilmu-ilmu Barat.
Darul Hikmah membuat
sekitar satu juta
buku ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam penterjemahan
dipimpin oleh seorang ilmuwan yang bernama Hunain bin Ishaq (809-973 H). di
bawah pimpinan Hunain bin Ishaq inilah banyak dihasilkan buku-buku penting yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang meliputi ilmu Kimia, Matematika,
Filsafat Yunani, Astronomi dll.
Khalifah al Makmun sangat berbeda
filosofi hidupnya dengan para khalifah Abbasiyah pada umumnya, juga berbeda
dengan kakaknya al Amin bin Harun al Rasyid yang suka ber pestapora dengan para
lelaki yang telah dibelinya dan telah dikebiri. Al Amin Telah berbuat abnormal
terhadap mereka yang dijadikannya teman seranjang, sehingga al Amin menjadi
bersikap dingin terhadap para Istri dan gundik-gundiknya (As Suyuthi, tt: 342).
Disamping itu gaya hidup al Makmun jauh berbeda dari saudaranya al Amin, al
Makmun cenderung lebih memperhatikan jalannya pemerintahan dan pembangunan negara,
termasuk kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi ,ketimbang bersukaria
dengan pesta pora,
minuman keras dan
hasrat terhadap sesama jenis (Farag Faudah, 2008: 167).
Keterbukaan dalam pemerintahan
Abbasiyah khususnya masa khalifah al Makmun sungguh-sungguh nyata, banyak jurutulis
tersebar dalam birokrasi adalah orang khurosan, kelompok Kristen Nestorian
berperan kuat, kelompok minoritas tertentu seperti Yahudi banyak terlibat dalam
urusan perpajakan dan perbankan, keluarga-keluarga muslim Syi‟ah juga
berpengaruh terhadap kebijakan politik khalifah (Ira M.Lapidus, 1999: 108).
Sebagai contoh al Makmun berusaha mendekati tokoh aliran Syi‟ah pada saat itu
dengan cara menikahi salah satu putrid imam Ali al Ridlo, Imam Syi‟ah kedelapan
dan menyebut Ali al Ridla sebagai
pewaris kekhalifahan sesudahnya
(Keren Armstrong, 2002:
89). Sebagai penganut Mu‟tazilah al
Makmun sangat gemar
ilmu pngetahuan dan
filsafat , hal
ini merupakan salah satu factor yang mampu menggerakkan umat Islam untuk
kemajuan ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan pesat (Team Perumus Fakultas
Teknik UMJ, 1998:104). Berdasar uraian tersebut nampaknya al Makmun memiliki
filosofi pluralistis dalam berbangsa dan bernegara, sehingga tak membedakan
Suku,Agama,Ras dan aliran (SARA).
Adapun faham keagamaan khalifah
al Makmun adalah pengikut aliran Mu‟tazilah dalam persolan ilmu Kalam. Sebagai
sorang intelektual dan negarawan al Makmun hamper tanpa cela seandainya ia
tidak terseret yang terlalu dalam terhadap rasionalitas Mu‟tazilah dan
menjadikannya sebagai faham resmi dalam kenegaraan pada tahun 212 H/827 M serta
membuka sikap fanatisme aliran yang kemudian membawa dampak adanya peristiwa
yang dikenal dengan Mihnah
al Qur‟an yang pada
prakteknya memeriksa batin
seseorang mengakui kemakhluqan al Qu‟an atau tidak. Jika tidak maka akan
di hukum berat, praktek
inkuisisi ini muncul dimana-mana,
dan faham Mu‟tazilah ini ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani
Ahmad bin Hambal (Faisal Isma‟il, 2010: 244-245).
Akhir dari pertentangan dua faham
dua aliran ini, dimenangkan oleh Ahmad Ibnu Hambal yang di anggap sebagai
pahlawan rakyat dan mampu mengalahkan Mu‟tazilah yang sebenarnya tidak
memberikan kebaikan apa-apa terhadap al Makmun, sebab Imam Ibn Hambal meninggal
pada tahun 242 H/855 M, yaitu 22 tahun setelah meninggalnya al Makmun dan pada
saat iyu dinasti Abbasiyah dibawah khalifah al Mutawakkil yang sudah mendukung
faham ahlu al Sunnah wa al Jama‟ah termasuk mengikuti faham bahwa al Qur‟an
bukan makhluq tetapi kalam Allah yang Qodim.
Dalam upaya memajukan pendidikan
dan mengembangkan Ilmu pengetahuan al- Makmun menetapkan kebijakan politik
pendidikan sebagaimana digambarkan oleh Philip K. Hitti secara panjang lebar,
tetapi secara singkat bisa kita paparkan sebagai berikut:
1. Al-Makmun sangat menghormati para ahli ilmu
baik agama maupun umum termasuk para filasuf, sekalipun tidak seperti ayahnya
Harun al Rasyid
2. Mendirikan Perpustakaan Baitul hikmah yang
didalamnya orang bisa membaca menulis dan berdiskusi
3. Cabang-cabang ilmu keislaman muncul dan
berkembang pada masa ini sperti 'ulumul Qur'an, Ilmu Qira'at, ilmu Hadits, Ilmu
kalam, dan lainnya termasuk muncul dan berkembangnya Fiqih dan ushul Fiqih
dalam empat madzhab semacam imam Syafi'I (150 H- 204 H)
4. Ilmu pengetahuan umum juga
berkembang seperti filsafat, matematika, ilmu alam, metafisika, geometri, al
jabar, aritmatika, astronomi, kedokteran kimia dan musik
5. Penterjemahan buku-buku yang berisi tentang
Ilmu pengethuan dari bahasa Yunani, Persia dan India kedalam bahasa Arab. Setelah
Kebijakan Khalifah al Makmun sangat memperhatikan Ilmu tersebut ditengah
masyarakat muncul dan berkembang tempat-tempat pendidikan termasuk lembaga
pendidikan yang tadinya sudah berdiri, tempat-tempat pendidikan itu antara
lain:
1. Buyut al Muslimin, termasuk Darul Arqom di
Makkah ketika Nabi Muhammad SAW, memulai pendidikan para sahabat, juga Buyut al
Ulama.
2. Suffah sebagian ruang di masjid
3. Al Kuttab yaitu tempat pendidikan tingkat
pemula
4. Masjid dengan sistem Halaqah
5. Madrasah
6. Al Ribath yaitu lembaga pendidikan yang
didirikan oleh para guru thariqoh
7. Al Zawiyah merupakan tempat pengajaran
spiritual dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid
8. Al
Maristan yaitu rumah
sakit untuk merawat
dan mengobati orang-orang
yang mengidap penyakit kronis, seperti buta dan kusta.
9. Al qushr (Istana) yaitu lembaga pendidikan
yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah
10. Al Hawanith al Wariqin yaitu
toko buku yang juga berfungsi tempat pembelajaran
11. Al Shalun Adabiyah atau
sanggar sastra yaitu tempat yang disediakan oleh Knalifah untuk membicarakan
berbagai masalah penting dengan cara mengundang para Ulama
12. Al Badiyah yaitu lembaga
pendidikan yang secara khusus mengajarkan bahasa Arab kuno.
13. Observatorium yaitu lembaga
pendidikan untuk penelitian dan percobaan
14. Al Maktabah
Berangkat dari uraian tersebut,
maka dapat kita ketahui bahwa al Makmun termasuk salah satu Khalifah Abbasiyah
yang cenderung berkarakter baik, memikirkan kemajuan kekhalifahan
Islam,kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mampu menghindari perilaku
yang bertentangan dengan syari‟at Islam, mungkin kalau boleh dianggan suatu
keteledoran al Makmun, adalah memaksakan pendapat kepada umat Islam
relevansinya dengan mengikuti salah satu aliansi faham tentang al Qur‟an yaitu
faham Mu‟tazilah (Ghani,
2015). Berikut beberapa zaman
keemasan dari Bani Abbasiyah:
1. Kemajuan Ilmu-Ilmu Agama
Zaman Abasiyyah dikenal sebagai
era keemasan ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu-ilmu agama
berkembang dengan subur
dan diiringi oleh
kemunculan tokoh-tokoh agama yang
berpengaruh sampai sekarang ini. (ilmu Agama: ilmu Tafsir, ilmu Hadis, ilmu
Kalam/Teologi dan ilmu Tasawuf).
a. Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir dalama masa ini
berkembang pesat karena ilmu ini sangat dibutuhkan terutama oleh orang-orang
non Arab yang baru masuk Islam. Mereka butuh tentang makna dan penafsiran
al-Qur‟an. Hal ini yang menyebabkan beberapa aliran muncul dalam ilmu tafsir.
Penafsiran Al Qur‟an pun berkembang tidak hanya dengan penafsiran makna tetapi
penafsiran “Bil al Ma’sur dan “Bi al Ro’yi”
Dalam hal ini boleh dikatakan,
bahwa pemerintahan Abasiyyah yang pertama menyusun Tafsir dan memisahkan antara
Tafsir dengan Hadis. Sebelum itu para kaum Muslimin menafsirkan Qur‟an melalui
Hadis-Hadis Nabi, keterangan para sahabat, tabi‟in. Di antara karya besar
Tafsir adalah Al-Farra‟ yang merupakan karya Tafsir pertama dengan disesuaikan
dengan sistematik Al Qur‟an. Kemudian muncul At Tabari yang menghimpun
kumpulan-kumpulan Tafsir dari tokoh sebelumnya. Kemudian muncul golongan Ulama‟
yang menafsirkan Al Qur‟an secara rasional, seperti Tafsir Al Jahiz.
Sedangkan para ahli Tafsir
terkemuka yang muncul pada zaman Abasiyyah adalah Abu Yunus Abdus Salam Al
Qozwani yang merupakan salah satu penganut aliran Tafsir bi al Ra‟yi. Sedangkan
yang muncul dari aliran tafsir Bi Al Aqli adalah Amar Ibnu Muhammad
al-Khawarizmi, Amir al-Hasan bin Sahl.
Muncullah beragam metode
penafsiran Alquran dengan ragam madrasahnya, di antaranya metode tafsir Alquran
bi al-ma‟tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang
sahih, baik menggunakan ayat
dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau tabiin. Ada beberapa tokoh yang
dikenal memomulerkan metode ini. Berikut ini jejak terakhir para imam mufasir
bi al-ma‟tsur:
1) Imam at-Thabari
Entah Anda percaya atau tidak.
Makam yang berlokasi di Al-A‟dhamiyah, Baghdad, ini disebut-sebut sebagai makam
Ibnu Jarir at-Thabari. Kondisi makam tokoh kelahiran Tabaristan, Persia ini,
jauh dari kata layak. Bahkan memprihatinkan. Padahal ia adalah imam besar,
sejarawan, sekaligus seorang mufasir. Tokoh yang wafat pada 923
M/310 H ini mengarang kitab
tafsir monumental, yaitu Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil Ayy al- Qur‟an. Tafsir yang
lebih dikenal dengan Tafsir at-Thabari ini menjadi rujukan para ulama pada masa
berikutnya, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan juga Ibnu Katsir.
2) Ibnu Katsir
Selain disebut sebagai sejarawan
lewat karyanya al-Bidayah wa an-Nihayah, tokoh yang lahir di Busra 1301 M di
Busro, Suriah ini dikenal juga sebagai seorang mufasir andal. Pemikir dan ulama
Muslim ini mengarang kitab tafsir berjudul Tafsir al-Qurad al-Azhim atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibn Katsir. Makam yang berada di Damaskus,
Suriah ini, sebenarnya adalah makam Ibnu Taimaiyah, guru Ibnu Katsir, tetapi
makam Ibnu Katsir bersebelahan dengan makam sang guru. Ibnu Katsir wafat pada
1372 M di Damaskus Suriah.
3) As-Suyuthi
Imam as-Suyuthi dimakamkan tak
jauh dari makam Imam as-Syafii di el-Qarafa el-Kubra. Selain dikenal sebagai
pakar fikih Mazhaf Syafi‟i, pemilik nama lengkap Abdurrahman bin Kamaluddin Abu
Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i
al-Asy'ari itu dikenal pula sebagai mufasir.
Di antara karyanya di bidang tafsir adalah kitab ad-Durr al-Mantsur fi
Tafsir bi al-Ma‟tsur. Kitab tokoh kelahiran Kairo, pada 849 H/ 1445 M ini di
bidang Alquran adalah al-Itqan fi „Ulum al-Alquran
b. Ilmu Hadis
Pada zaman ini kajian Hadis
sebagai sumber hukum setelah Al Qur‟an berkembang dengan cara menelusuri
keontetikan (shohih) Hadis. Hal ini yang mengilhami terbentuknya ilmu-ilmu
Jarhi wa Ta‟di dan ilmu Mustalahul Hadis. Beranjak dari ilmu Mustalahul Hadis
dan ilmu Jarhi Wata‟dil ini para ulama‟ Hadis berhasil mengkodifikasi Hadis ke
dalam kitab secara teratur dan sistemik.
Pada zaman sebelumnya belum ada
pembukuan Hadis secara formal seperti Al Quran. Oleh karena itu sejarawan
menganggap masa pembukuan Hadis secara sistemik
dimulai pada zaman Daulah
Abasiyyah. Penggolongan Hadis dari aspek periwayatannya, sanad, matan yang
akhirnya bisa diketahui apakah Hadis itu shahih, hasan, dhoif juga terjadi pada
masa Abasiyyah.
Dengan demikian kajian yang
mendalam serta penyeleksian Hadis pada Daulah Abasiyyah telah menghasilkan
pembukuan Hadis ke dalam bentuk kitab-kitab yang masih bisa kita pelajari
sampai sekarang ini. Di antara kitab-kitab Hadis yang disusun pada waktu itu
ialah kitab Hadis “Kutub as-Sittah” yaitu kitab Hadis disusun oleh enam ulama‟
Hadis, yaitu Imam Muslim (wafat 261 H). beliau menyusun kitab Shohih Muslim.
Kemudian Imam Bukhori (wafat 256 H), Imam Turmudzi (wafat 279 H), Ibnu Majjah (wafat
273 H), Imam Nasa‟i (wafat 303 H), Abu Daud (wafat 275 H). Dari enam ahli Hadis
di atas ada dua yang dianggap paling otentik (shahih) yaitu Shahih Muslim dan
Shahih Bukhari yang lebih dikenal dengan “Shahihaini”.
c. Ilmu Kalam
Pada zaman al-Ma‟mun dan Harun
al-Rasyid, ilmu kalam mendaopat tempat yang luas, bahkan ilmu kalam (teologi)
sangat mempengaruhi keadaan pemerintahan saat itu. Seperti aliran Mu‟tazilah
dijadikan aliran resmi pemerintah Bani Abbas. Peran ilmu kalam pada saat itu
sangat besar untuk membela Islam dari paham- paham Yahudi dan Nasrani.
Dalam ilmu kalam para teolog
terfokus pada bidang aqidah sebagai obyek bahasan yang meliputi keesaan Tuhan,
sifat-sifat, perbuatan Tuhan dll. Pada masa ini para Ulama‟ kalam terbagi
menjadi dua aliran,
pertama aliran yang
mengikuti pemikiran salaf
yang diwakili oleh Mu‟tazilah.
Aliran salaf berpegang
pada arti Lafdiyah/tekstual dalam mengartikan ayat-ayat
mutasabihat. Sedangkan aliran
rasionalis memakai /ra‟yu dalam mengartikan ayat. Di antara
ulama‟ ilmu kalam yang terkenal ialah Abu Huzail al- Allaf (wafat 235 H),
An-Nazzam (wafat 835 H), Bisri Ibnu Mu‟tamir, Abu Ishaq Ibrahim mereka dari an Mu‟tazila.
Sedangkan yang mewakili kelompok salaf adalah Amru bin Ubaid.
Jadi ilmu kalam (teologi) pada
zaman Abasiyyah ini tidak semata mengembangkan pemikiran agama
tetapi mengembangkan juga
pemikiran sosial, politik
dan mengembangkan pemikiran umat tidak statis, baik bidang agama maupun
bidang kemasyarakatan yang akhirnya berguna bagi perkembangan dan kemajuan
negara.
d. Ilmu Fiqh
Di antara kebanggan pemerintahan
Abasiyyah adalah terdapatnya empat ulama Fiqh yang terkenal pada saat itu dan
sampai sekarang, yaitu Imam Abu Hanifah (wafat 129 H, Imam Malik (wafat 179 H),
Imam Syafi‟i (wafat 204 H) dan Imam
Ahmad bin Hambal (wafat 241 H). keempat ulama‟ Fiqh
tadi yan paling
terkenal dalam dunia
Islam dan penyebarannya paling
luas sampai sekarang.
Disamping empat Madhab Fiqih
diatas ada beberapa Madhab yang pengaruhnya cukup terkenal saat itu, yaitu
Madhab Jaririyah yang dipelopori oleh sejarawan dan pengulas Al Qur an yaitu At
Tabari (Wafat 923 H),tetapi madhab ini bertambah hanya dua generasi. Madhab
lain adalah madhab Dhahiriyah yang dipelopori oleh Dawud bin Ali (884), disebut
madhab Dhahiriyah karena pengambilan hukumnya berdasarkan bukti dhahir (bukti
tertulis Lughowi Al Qur an dan Hadis). Madhab ini berkembang di Spanyol,
Syuriah dan Mesir.
Pada masa ini ada dua cara dalam
mengambil hukum fiqih yang kemudian menjadi aliran tersendiri, yaitu:
1) Ahl
al-Hadis: Aliran yang
berpegang teguh pada
nash-nash Al Qur‟an dan
Hadis), karena mereka menghendaki hukum
yang asli dari Rasulillah
dan mereka menolak hukum menurut
akal. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik, Imam Syafi‟i dan pengikut Sufyan As
Sauri.
2) Ahl al-Ra‟yi: Aliran yang menggunakan akal
pikiran dalam mengistimbatkan hukum di samping memakai al-Qur‟an dan Hadis,
Aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Fuqaha‟Irak.
Dari sini kita bisa melihat,
bahwa pemikiran umat Islam (Fuqoha‟) pada saat itu sangat maju sekali, dengan
bukti lahirnya ulama‟ terkenal dan kirab-kitab termashur seperti yang kita
lihat sekarang ini, di antaranya adalah Al-Muwatta‟ , Al-Kharaj, Al-Mustasfa
dll.
e. Ilmu Tasawuf
Di samping ilmu Fiqh, pada zaman
Abasiyyah juga muncul dan berkembang ilmu Tasawuf. Ilmu ini telah menaruh
pengaruh yang besar bagi kebudayaan Islam. Perkembangan ilmu ini dimulai dari
perkumpulan-perkumpulan tak resmi dan diskusi keagamaan (Halaqah) dan latihan
spiritual dengan membaca dzikir berulang- ulang. Hal ini berlangsung di mana-mana khususnya di
masjid, kemudian ini
menjadi konsep-konsep spiritual
yang diberi Tasawuf yang berkembang sampai abad 9 Hijriyah.
Ilmu Tasawuf
ini menyebar di
penjuru negeri Islam
di wilayah Abasiyyah
yang dibawa oleh para sufi-sufi terkemuka seperti:
1) Al-Qusyairi, nama lengkapnya Abu Kasim Abdul
Karim bin Hawzin al Qusairi (wafat 465H). kitabnya yang terkenal adalah
Ar-Risalah al-Qusyairiyah.
2) Abu Haffas Umar bin Muhammad Sahabuddin
(wafat 632 H) kitabnya yang terkanal adalah Awariful Ma‟arif.
Imam al Ghazali (wafat 502 H)
salah satu Ulama‟ Tasawwuf yang terkenal yang lahir di Thus abad ke-5 Hijriyah.
Kitabnya yang terkenal adalah Ihya‟Ulumuddin yang memuat gabungan antara
ilmu tasawwuf dan
ilmu kemasyarakatan, kitab-kitabnya yang
lain Al Basith, Maqosidu
Falsafah, Al munqizu mina Dhalal dll.
Dari uraian di atas tentang
kemajuan ilmu-ilmu agama pada zaman Abasiyyah kita harus mengakui betapa besar
sumbangan ilmu agama pada saat itu terhadap kehidupan
keberagaman sampai
saat ini. Di
antara yang berpengaruh
adalah ilmu Lughah
(ilmu bahasa) yang meliputi ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma‟ani, Arudh,
Kamus, Insa‟ yang dalam masa ini akan sangat berguna khususnya dalam
menterjemah bahasa asing dan karya- karya sastra.
2. Kemajuan Filsafat dan Sains
Pada masa Abasiyyah ilmu
pengetahuan telah banyak mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, hal
ini tidak bisa dilepaskan dari peran khalifahnya yang mendukung kemajuan
itu. Faktor yang
paling menonjol dari
perkembangan ini adalah dengan dikembangkannya penterjemahan
kitab-kitab non Arab ke dalam bahasa Arab yang telah dirintis oleh khalifah
Ja‟far al-Mansur. Dengan memperkerjakan para ahli terjemah, di antaranya Fade
Naubakt, Abdullah bin Muaqaffa‟, yang pada akhirnya ilmu-ilmu dari Barat bisa
dipahami oleh masyarakat umum.
Pada masa Harun al Rasyid juga
dikembangkan suatu lembaga yang mengkaji dan
mengembangkan pengetahuan yang
dinamakan “Khizanat al-Hikmah”
yang kemudian pada masa Al-Ma‟mun dikembangkan lagi menjadi “Bait
Hikmah” atau akademi ilmu dikembangkan lagi menjadi “Darul Hikmah atau akademi
ilmu pengetahuan yang meliputi perpustakaan, pusat penterjemahan, observatorium
bintang dll.
a. Filsafat dan Perkembangannya Zaman Abasiyyah
Filsafat berkembang pesat pada
Daulah Abasiyyah terutama pada masa Al Ma‟mun dan Harun Ar Rasyid karena pada
saat itu kitab- kitab Filsafat, khususnya Yunani sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab.
Yang perlu digaris bawahi adalah,
para ilmuwan muslim tiada mengambil Filsafat yunani secara keseluruhan tetapi
mengadakan perubahan dengan disesuaikan ke dalam ajaran Islam, sehingga menjadi
filsafat Islam. Mengenai pengambilan filsafat Yunani, Montotgomery Watt
mengatakan “bahwa Filsafat tidak akan hidup hanya dengan menterjemahkan dan
mengulang-ulang pemikirannya orang lain, tetapi menterjemahkan filsafat hanya
bisa dilakukan kalau sudah ada dasar pemikiran dari bahasa itu”. Dari sini bisa
dianalisa, bahwa pengambilan filsafat Yunani dari menterjemah hanya dijadikan
perbandingan dan rujukan para Filusuf
Islam untuk menciptakan filsafat yang
bernafas Islam, tetapi ada
sebagian yang mengambil
dan dirubah sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam.
Secara umum dalam bidang filsafat
orang-orang Islam masih banyak mengambil dari filsafat orang-orang Islam masih
banyak mengambil dari filsafat Yunani seperti filsafat Greek dan Coptic, hal
ini bagi umat Islam saat itu merupakan kepentingan yang utama (Tracending
Importance), pengambilan ini hanya berupa ide-ide yang pertama kali pada masa
Al- Ma‟mun, seperti Al-Kindi, Ibn Sinah, Ibnu Rush yang masih mengambil ide
dari Aristoteles. Yang penting dalam
perkembangan Filsafat ini
hanya munculnya golongan
rahasia (Jamiatus Sirriyah) yang bernama “Ihwan As-Safa” yang bergerak
dalam ilmu pengetahuan khususnya Filsafat. Ihwanussafa menyusun kitab “Rasail
Ihwanussafa” yang terdiri dari 51 buku. Rasail ini memuat kumpulan filsafat
Islam yang meliputi Maujudat, asal usul alam, rahasia alam dll. Kebanyakan
anggota Ihwanussafa ini adalah orang aliran Mu‟tazila dan Syi‟ah yang ekstrem,
tokohnya adalah Abul Alla‟al Ma‟arri dan Ibnu Hayyan at Tauhidi, Ibnu Zanji. Sedangkan
tokoh-tokoh dalam bidang filsafat ini adalah:
1) Abu Yusuf bin Ishaq Al Kindi
(wafat 873 M) dikenal sebagai Filusuf Arab yangmemperkenalkan filsafat Yinani
di kalangan kaum
muslimin. Ajarannya tentang filsafat “Antara agama dan filsafat
sama-sama menghendaki kebenaran, agama menempuhnya lewat
syari‟at, sedangkan filsafat menempuhnya
dengan pembuktian rasio.
2) Ibnu Sina (Aviccena) lahir tahun 980 M di
Buchoro, dalam ilmu filsafat beliau banyak mengarang buku diantaranya As Sifa‟,
Al Isryara, Ti‟su Rasail fil hikmah yang sebagian besar memuat hubungan agama
dengan filsafat.
3) Al Farabi, lahir di Turkistan tahun 870 M
beliau berguru di Baghdad untuk mempelajari Sains dan Filsafat, banyak belajar
dari guru Kristen. Filsafat Al Farabi ini merupakan bentuk dari “Neoplatonisme” yang
disesuaikan dengan dokrin
Islam. Seperti halnya filsafat politiknya Al Farabi banyak
mengambil dari Replubic and Law-nya Plato.
4) Ibnu Rush (Averoush) (Wafat 594 H) dalam hal
filsafat beliau banyak mengambil dari ide-ide Aristoteles, dia banyak mengulas
hubungan antara Filsafat dan Syari‟at.
Dalam bidang sejarah, ulama yang
terkenal antara lain Ibnu Ishaq, binu Hisyam, al-Waqidi, Ibnu Qutaibah,
al-Thabari dan lain-lain. Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang
terkenal : al-Yakubi dengan karyanya al-Buldan, Ibnu Kharzabah dengan bukunya
al-Mawalik wa al-Mawalik dan Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M,
khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
b. Kemajuan Sains dan Tekonologi
Dalam bidang sains dan teknologi,
orang-orang Arab masih kalah dengan orang Yunani, Sains dan Filsafat terbentuk
atas rangsangan buku terjemahan dari orang Yunani. Kemudian perkembangan ilmu
pengetahuan (Sains) ditandai dengan berdirinya Universitas- universitas Islam
di Iraq dan
Baghdad, baru setelah
itu banyak penemuan-penemuan penting tentang sains dan
teknologi yang akan dibahas di bawah ini:
c. Ilmu Kedokteran
Ilmu Kedokteran tumbuh dan
berkembang pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid abad 9 M. hal ini ditandai dengan
berdirinya rumah sakit yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid dan selanjutnya
berkembang menjadi 34 Rumah Sakit Islam. Rumah sakit ini dilengkapi dengan
ruangan khusus wanita, apotik dan yang terpenting adalah di setiap rumah sakit
dilengkapi dengan perpustakaan media serta tempat- tempat kursus kedokteran dan
pengobatan. Pada masa ini juga dibentuk klinik-klinik keliling yang melayani
pengobatan di penjuru negeri khususnya untuk orang-orang tak mampu.
Dalam ilmu kedokteran, Ulama‟
yang terkenal dengan zaman ini yaitu Ar-Razi dan Ibnu Sinah.
Ar-Razi dikenal sebagai
ahli kedokteran Islam
yang cakap dan
ahli kimia terbesar abad
pertengahan, beliau juga dienal sebagai penemu benang Fontanel yang berguna
untuk menjahit luka akibat pembedahan dan sebagainya.
Roger bacon seorang ilmuwan Barat
menterjemahkan kitab Ar-Razi yang berjudul “Kitab Rahasia” ke dalam bahasanya
dengan judul “De Spiritibu Et Corporibus” yang di dalamnya memuat
penanggulangan penyakit cacar dan penyakit campak. Kitab Ar-Razi yang lain
adalah “Al Hawi” yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan nama
“Contineus” yang dijadikan rujukan oleh kedokteran Barat sampai tahun 1779 H.
Sepeninggal Ar-Razi kegemilangan
ilmu kedokteran diteruskan oleh Ibnu Sinah, kitabnya yang terkenal adalah “As
Sifa” (Canon of Medicine) yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin Inggris.
Buku ini mendominasi pengajaran di Universitas di Eropa, paling tidak
sampai abad ke-15. Kemudian
muncul ulama‟ ahli bedah yang bernama Abul Qosim Az Zahrawi yang dalam bahasa
latin disebut Abul Casis (wafat 1009 M). Jadi kemajuan kedokteran pada daulah
Abasiyyah ini yang mengilhami kemajuan ilmu kedokteran barat sekarang ini.
Bahkan kitab-kitab Ibnu Sinah sampai sekarang masih dikaji di Universitas di
Eropa.
d. Ilmu Kimia
Dalam bidang ilmu Kimia ilmuwan
yang terkenal adalah Jabir Ibnu Hayyam yang diberi gelar “Bapa Ilmu Kimia Arab”
dia banyak mengemukakan teori uap, pelelehan, Sublimasi dll. Dalam teorinya
Jabir bin Hayyan mengatakan, bahwa logam seperti timah putih atau hitam, besi
dan tembaga bisa dirubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan zat rahasia
hingga pada sampai akhir hayatnya beliau masih melakukan eksperimen tentang hal
ini. Jabir bin Hayyan merupakan perintis exprerimen pertama dalam dunia Islam.
Di antara eksperimennya yang kemudian menjadi teori adalah: Teori Sublimasi,
teori pengasaman, teori penyulingan, teori penguapan, teori pelelehan, dan beliau
dikenal dengan penemu Karbit.
Dari penemu-penemu teori baru
oleh Jabir bin Hayyam dan para ilmuwan pada Daulah Abasiyyah ini, kemakmuran
dan kesejahteraan semakin bertambah baik, hasil-hasil eksperimen diterapkan
pada kehidupan masyarakat.
e. Ilmu Astronomi
Ilmu Astronomi pada mulanya
dipakai untuk menentukan arah kiblat kemudian pada perkembamngannya ilmu ini
dipakai para pedagang, para pelaut dan para tentara untuk menyebarkan agama di
luar negeri. Ulama‟ yang ahli dalam ilmu astronomi adalah Al- Khawarizmi (wafat
846) Beliau banyak membuat tabel-tabel tentang
letak negara, peta dunia,
penetapan bujur-bujur panjang semua tempat di muka bumi ini sekaligus mengukur
jarak antara negara satu dengan negara yang lain. Teori ini dikumpulkan
kemudian disebarkan di masyarakat.
Dengan ilmu
Astronomi, sekitar abad
ke 7–9 H.
para pedagang muslim
sudah sampai pada negeri Tiongkok melalui laut, mendarat di pulau
Zanzubar, pesisir Afrika, bahkan sampai pada negeri Rusia.Selain Al-Kawariszimi
ada ulama‟ yang bernama Ibnu Kardabah yang banyak menemukan teori perbintangan
dan ilmu Falak. Ibnu kardabah juga banyak menulis buku tentang Astronomi,
diantaranya Al-Mashalih wal Mawalik, Al-Buldan, Al Jihani dan Al
Muhtasar.Dengan ditemukannya ilmu Astronomi, umat Islam bisa menjual hasil
pertaniannya dan kerajinannya ke negeri Tiongkok, Zanzibar sekaligus
mendatangkan hasil karya dari negeri lain untuk dijual di negeri isam.
Pemerintahan Abasiyyah semakin kaya karena setiap hasil perdagangan
(ekspor/Impor) dikenakan pajak untuk negara,kemauan oleh negara disalurkan pada
rakyat yang miskin.
f. Ilmu Matematika
Dalam ilmu ini orang Arab (Islam)
memberikan sumbangan yang besar sekali bagi peradaban manusia dengan menemukan
“Angka Arab“ seperti yang kita pakai sampai sekarang (123456789). Orang-orang
Islam dibawah pimpinan Ibnu Haitam dan Al- Khawarizimi membut teori matematika,
di antaranya adalah teori Al-Jabar, cara menghitung akar kuadrat dan desimal.
Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Haitam berhasil menemukan ilmu untuk
mengukur sudut yang diberi nama Trigonometri.
Disamping ilmu-ilmu yang sudah
diterangkan diatas tadi, masih ada beberapa ilmu yang ditemukan tetapi belum
banyak berkambang zaman Abasiyyah ini, penemuan- penemuan ilmu ini masih belum
dibukukan secara sistematik, ilmu-ilmu itu adalah ilmu fisikis (Botani) yaitu
ilmu tentang tumbuh-tumbuhan, ilmu Fisika, ilmu Geografi dan ilmu Sejarah.
D. Faktor-faktor runtuhnya Bani Abbasiyah
Pemberontakan terjadi hampir di
setiap pemerintahan termasuk pada masa pemerintahan Abbasiyah. Pemberontakan
itu terjadi karena perebutan kekuasaan, balas dendam, praktek perilaku amoral
dari khalifah dan pembesar istana, sistem peralihan kekusaan monarchi, dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah.
Perebutan kekuasaan dalam masa
pemerintahan Abbasiyah terjadi sejak dua putra Harun al-Rasyid ditetapkan
sebagai khalifah pengganti bapaknya. Apakah putra mahkota al- Amin atau
adiknya al-Makmum pada
satu tahun berjalan.
Dalam masyarakat Islam Abbasiyah terjadi saling menjagokan
masing-masing calon. Di satu pihak ada yang menjagokan al-Amin, di pihak yang
lain ada juga yang menjagokan al- Makmum sebagai khalifah. Kondisi ini terjadi
sampai satu tahun berjalan baru pemerintah dapat memutuskan al-Amin menjadi
khalifah ke-6, selanjutnya al-Makmum menjadi khalifah ke-7 setelah al- Amin.
Dalam sejarah perkembangan Bani Abbasiyah disebutkan sebagai awal perebutan
kekuasaan di Bani Abbasiyah
Faktor Kehancurnya Abasyah
disebabkan oleh dua faktor besar, yaitu faktor internal dan eksternal;
1. Faktor Internal
Perebutan kekuasaan
berkepanjangan dalam istana Abbasiyah menimbulkan respon buruk dari
masyarakat. Ditambah dengan
perilaku amoral yang
ditunjukkan oleh para khalifah dan pembesar istana mulai dari
khalifah 10 dan seterusnya. Perebutan kekuasaan bagi sebuah kerajaan yang
memakai pola pengangkatan kepemimpinan,“monarchi oriented” Adalah sebuah
kenistaan, karena putra mahkota yang lebih dari satu tidak akan pernah memberi
ruang bagi sesama kandidat. Dan hal itu terjadi hampir di semua kerajaan Islam
mulai dari Umayyah I, Abbasiyah, Umayyah II Andalusia, Turki Usmani, Persia dan
Mughal India.
Praktek-praktek amoral yang
dilakukan oleh khalifah adalah setiap akhir tahun berjalan, dengan mengadakan
acara-acara seremonial di istana untuk menghibur khalifah dan para pembesar
istana dengan alasan refresing. Yang terjadi adalah mendatangkan para
wanita-wanita penghibur dan membeli berbagai macam minuman keras dengan
berbagai merek dari negara-negara barat. Tujunnya adalah unuk menghibur para
khalifah dan pembesar yang bekerja setahun penuh. Pertanyaannya adalah apakah
tidak ada cara lain untuk menghibur khalifah dan para pembesar selain yang
amoral tersebut?.
Kenyataan dalam sejarah bahwa,
acara-acara tesebut yang diprakktekan secara rutin oleh para pembesar istana.
Akibatnya adalah bisa dibayangkan bahwa masyarakat benci kepada para khalifah
dan pembesar. Kebencian terhadap pemerintahan Abbasiyah itu merata hampir
di semuah wilayah
Abbasiyah, puncak ketidaksenangan masyarakat
itu adalah banyak wilayah yang lepas dan minta merdeka dari pusat
pemerintahan Abbasiyah. Dalam sejarah Islam kondisi ini disebut masa
disintegrasi. Kondisi ini puncaknya terjadi pada abad ke X M, ketika terjadi
Perang Salib pertama abad ke X. Umat Islam tidak dapat menahan serangan pasukan
Salib dan kalah dalam perang.
2. Faktor Eksternal
505 tahun perjalaan Bani
Abbasiyah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan peradaban dunia,
terutama pada periode klasik atau abad pertengahan. Tumbuh pesatnya ilmu
pengetahuan pada abad pertengahan tersebut menyebabkan umat Islam lengah dan
selanjutnya menjadi hancur. Ada beberapa proses yang menyebabkan umat Islam
menjadi lemah dan kemudian hancur dari luar, antara lain:
a. Wilayah Abbasiyah yang terlalu luas
Luasnya wilayah Abbasiyah
menyebabkan banyak wilayah yang secara geografis jauh dari pusat pemerintahan
Bagdad tidak dipantau dan dibina secara intensif oleh pemerintah Abbasiyah.
Luasnya wilayah juga menyebabkan pemerintah tidak adil dalam memberikan hak
wilayah bagian dari baitul maal untuk pembangunan infrastruktur berupa
bangunan fisik, seperti
irigasi, jalan raya,
jembatan penghubung kota
dan sarana pendidikan. Sementara
kewajiban wilayah-wilayah bagian harus disampaikan secara rutin ke baitul
maal (kas negara).
Akibatnya banyak wilayah
bagian yang lepas
dan minta merdeka dari Abbasiyah,
seperi Touland dan Fatimiyah di Mesir, Sabaktakim di wilayah Persia, Idrisi dan
Thohiriyah di Maroko. Masa ini disebut masa disintegrasi Abbasiyah.
b. Perang Salib
Perang salib berlangsung selama
kurang lebih 200 tahun (1096- 1287M). Perang salib berlangsung di wilayah yang
merupakan pusat-pusat perkembangan Islam, di mana banyak fasilitas pendidikan
dan fasilitas umum yang rusak, seperti sekolah, masjid, istana dan
lembaga-lembaga pemerintah atau umum yang rusak. Selain itu banyak masyarakat
yang ikut korban akibat dari
perang yang berlangsung selama kurang lebih 200 tahun, baik itu dari pihak
nasrani maupun dari pihak Islam.
c. Serangan Tentara Mongol
Penyerangan Mongol dilakukan
mulai tahun 1220 M oleh penguasa Timur Leng, Jengis Khan. Penyerangan di mulai
dari dua pusat peradaban Abbasiyah di wilayah Tranxiaonia, Bukhara dan
Samarkan. Selanjutnya penyerangannya dilanjutkan ke daerah Abbasiyah lainnya,
Tajekistan, Turkistan, Armenia daerah sampai ke Anatonia. Terakhir tahun 1258 M
penyerangan diarahkan ke pusat kekuasaan Abbasiyah; mulai dari Syiria,
Kufah, Jaffa, Hira,
Anhar, Damaskus dan
kota Baghdad sebagai
pusat kekuasaan Abbasiyah tahun
1258M dengan cara kota Baghdad dibakar dan dibumihanguskan.
d. Berdiri Turki Usmania
Berdiri kerajaan Turki Usmani
tahun 1292 M dengan membawa misi untuk menyelamatkan wilayah-wilayah Abbasiyah
yang telah dihancurkan
pasukan Mongol ternyata dalam
kenyataannya justru ikut memperparah kehancuran Abbasiyah di wilayah- wilayah
Abbasiyah yang berdekatan dengan berdirinya Turki Usmani yaitu justru terjadi
perang terbuka yang menyebabkan tambah parah kekuasaan Abbasiyah.