Wednesday, April 1, 2020

PERKEMBANGAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH


PERKEMBANGAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH
A.  Proses berdirinya Bani Abbasiyah
Lahirnya Bani Abbasiyah tahun 750 M, adalah peran besar dari keturunan Hasyim yang bernama Abu Abbas. Nama Abbasiyah yang dipakai untuk nama bani ini adalah di ambil dari nama bapak pendiri Abbasiyah yaitu Abas bin Abdul Mutalib paman Nabi Muhammad Saw. Proses lahirnya Abbasiyah di mulai dari kemenangan Abu Abbas assafah dalam sebuah perang terbuka (al-Zab) melawan khalifah Bani Umayyah yang terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Abu Abbas diberi gelar assafah karena dia pemberani dan dia mampu memainkan mata pedangnya kepada lawan politiknya. Semua lawan politiknya di perangi dan di kejar-kejar, diusir keluar dari wilayah kekuasaan Abbasiyah yang baru yang baru direbut dari Bani Umayyah I.
Berdirinya Bani Abbasiyah tahun 750 M berarti secara formal semua wilayah kekuasaan Islam berada di bawah pemerintaan Abbasiyah termasuk semua bekas wilayah Bani Umayyah I kecuali wilayah Bani Umayyah yang ada di Andalusia.
Proses pengembangan peradaban yang dibangun oleh Bani Abbasiyah begitu cepat membawa perubahan besar bagi perkembangan peradaban ilmu pengetahuan selanjutnya. Bediri Bani Abbasiyah selama 505 tahun diperintah oleh 37 khalifah dengan mampu menciptakan peradaban yang menjadi kiblat dunia pada saat itu, peradaban yang dikenang sepanjang masa. Pada waktu itu suasana belajar kondusif, fasilitas belajar disediakan pemerintah  dengan  lengkap.  Motivasi  belajar  menjadi  penyogok  gairahnya  masyarakat untuk belajar. Mereka myarakat mendatangi tempat-tempat belajar seperti kuttab, madrasah maupun perguruan tinggi seperti universitas. Universitas yang terkenal pada saat itu adalah Nizamiyah yang dibangun oleh perdana menteri Nizamul Muluk  dari khalifah Harun al- Rasyid. Khalifah Harun al-Rasyid terkenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu pengetahuan, baik belajar maupun dalam hal membangun fasilitas belajar seperti; sekolah, perpustakaan, menyediakan guru dan membentuk gerakan terjemahan.
Abu Abbas assafah sebagai pendiri Bani Abbasiyah masa kepemimpnannya sangat singkat, hanya 4 tahun beliau memerintah akan tetapi mampu menciptkan suasana dan kondisi Abbasiyah yang seteril dari keturunan Bani Umayyah sebagai lawan politik yang baru di kalahkan dan dikuasainya. Sikap tegas dan berani yang ditunjukkan oleh Khalifah Abu Abas Assafah ketika membuat kebijakan pada saat berdirinya Bani Abbasiyah dengan berani memberantas semua keturunan Umayyah dari wilayah yang dikuasainya. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari suasana pusat wilayah dan rakyat Abbasiyah yang baru menjadi lebih kondusif dan perkembangan peradaban dapat dikendalikan oleh Khalifah Abu Abbas Assafah.
Keberhasilan Abu Abbas menaklukkan daulah Umayyah I ternyata mendapat dukungan besar dari tantara bayaran yang sengaja di datangkan oleh Abu Abbas, seperti Abu Muslim al-Khurasany. Abu Muslim adalah relawan berkebangsaan Persia yang sengaja disewa oleh keluarga Abbasiyah untuk membantu menaklukkkan kekuasaan Bani Umayyah I.

B.  Kebudayaan Islam pada masa Bani Abbasiyah
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas paman Nabi SAW. Berikut merupakan khalifah-khalifah yang memimpin Bani Abbasiyah:
1.  Abul Abbas As Saffah (750-754 M)
Dia bernama Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, Khalifah pertama pemerintahan Abbasiyah. Ayahnya adalah orang yang melakukan gerakan untuk  mendirikan  pemerintahan  Bani  Abbasiyah  dan  menyebarkan  kemana-mana. Inilah yang membuat Abdullah banyak mengetahui tentang gerakan ini dan rahasia rahasianya.  Dia  diangkat  oleh  saudaranya  yang  bernama  Ibrahim  sebelum  dia ditangkap oleh pemerintahan Umawiyah pada tahun 129 H / 746 M. Tertangkapnya Ibrahim membuat Abdullah harus berangkat ke Kufah bersama-sama dengan pengikutnya secara rahasia.
Pada masa pemerintahannya, saat pasukan Abbasiyah menguasai Khurasan dan Irak, dia keluar dari persembunyiannya dan dibaiat sebagai Khalifah pada tahun
132   H/   749   M.   Setelah   itu   dia   mengalahkan   Marwan   bin   Muhammad   dan menghancurkan pemerintahan Bani Muawyah pada tahun yang sama. Abu Abbas Assyafah meninggal pada tahun 136 H / 753 M.
2.  Abu Ja‟far Al Manshur (754-775 M)
Abu Ja‟far Al-Manshur menjabat Khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul Abbas As Saffah. Abu Ja‟far Al Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al- Imam dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah.
Ketika   Khalifah   Abul   Abbas   As   Saffah   meninggal,   Abu   Ja‟far  sedang menunaikan ibadah haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja‟far Al-Manshur setelah dilantik menjadi Khalifah pada 136 H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa pemerintahannya terjalin kerjasama erat antara pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga antara qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak, dan kepala-kepala dinas lainnya.
Selama  masa  kepemimpinannya,  kehidupan  masyarakat  berjalan  tenteram, aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan. Khalifah Abu Ja‟far Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani  Abbasiyah  dan  dirinya.  Menjelang  pengujung  158  H,  Khalifah  Abu  Ja‟far Al Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di Baghdad.

3.  Muhammad Al-Hadi
Dia bernama Muhammad Al-Mahdi bin al-Mansur. Dilantik sebagai Khalifah sesuai dengan wasiat ayahnya pada tahun 158 H/ 774 M. Dia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan pemurah. Pada masa pemerintahannya, kondisi dalam negeri saat itu sangat stabil, dan tidak ada satu gerakan penting dan signifikan di masanya. Dia berhasil mencapai kemenangan kemenangan atas orang orang Romawi. Anaknya, Harun Ar-Rasyid adalah panglima perang dalam penaklukan ini. Dia sampai ke pantai Marmarah dan berhasi melakukan perjanjian damai dengan Kaisar Agustine yang bersedia untuk membayar jizyah pada tahun 166 H/ 782 M. Muhammad Al-Mahdi meninggal pada tahun 169 H / 785 M setelah memerintah selama 10 tahun beberapa bulan.
4.  Musa Al-Hadi
Dia  adalah  Musa  Al-Hadi  bin  Muhammad  Al-Mahdi  yang  dilantik  sebagai Khalifah setelah ayahnya. Pada masa itu, terjadi pemberontakan oleh Husein bin Ali bin Husein bin Hasan bin Ali di Makkah dan Madinah. Dia menginginkan agar pemerintahan berada di tangannya. Namun Al-Hadi mampu menaklukannya dalam perang Fakh pada tahun 169 H / 785 M. Pada saat yang sama juga Yahya bin Abdullah melakukan pemberontakan di Dailam. Maka, Al-Hadi memberangkatkan Ar-Rasyid sampai Yahya bin Abdullah mampu ditaklukan. Musa Al-Hadi meninggal pada tahun 170 H / 786 M.
5.  Harun Al-Rasyid
Dia bernama Harun Ar Rasyid bin al-Mahdi, dia mutiara sejarah Bani Abbasiyah. Pada masanya pemerintahan Islam mengalami puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Harun Ar-Rasyid dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani. Dia telah melakukan penyerbuan dan penaklukan negeri Romawi pada saat baru berumur 20 tahun. Dia pun dikenal sebagai sosok yang takwa dan takut kepada Allah dalam segala perkara. Pada masa pemerintahannya adalah masa yang sangat tenang dan stabil, hanya ada beberapa pemberontakan kecil yang tidak berarti
apa apa, di antaranya adalah pemberontakan Yahya Abdullah, kaum Khawarij, orang- orang Zindik, dan pemberontakan di Kharasan. Sebelum meninggal, dia mewariskan kekuasaan kepada kedua anaknya, Al-Amin dan Al Makmun. Hal ini menjadi fitnah yang bertiup kencang yang terjadi antara dua saudara ini setelah kematiannya. Harun meninggal pada tahun 193 H / 808 M setelah memerintah selama 23 tahun.
6.  Muhammad Al-Amin
Dia bernama Muhammad Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid. Ayahnya telah membaiatnya sebagai Khalifah, lalu untuk saudaranya Al Makmun, kemudian untuk Qasim. Dia diberi kekuasaan di Irak, sedangkan Al-Makmun di Kharasan. Namun, ada salah seorang menteri Al-Amin yang mendorongnya untuk mencopot posisi putera mahkota dari adiknya dan memberikannya kepada anaknya yang bernama Musa. Al- Amin termakan tipuan ini, dan Al-Amin segera memberontak. Pada tahun 195 H/ 810 M, Al-Amin mengirimkan dua pasukan untuk memerangi saudaranya, namun berhasil dihancurkan oleh Thahir bin Husein, panglima perang Al-Makmun. Al-Amin sendiri dikenal  sebagai  seorang  yang  suka  berfoya-foya  serta  banyak  melalaikan  urusan negara. Sehingga setelah lima tahun ia memerintah, kekhalifahannya digantikan oleh Abdullah Al Makmun.
7.  Abdullah Al-Makmun
Dia bernama Abdullah Al- Makmun bin Harun Ar- Rasyid. Pada masa pemerintahannya banyak peristiwa peristiwa penting yang terjadi, pertama adalah pemberontakan Bagdad dan penunjukkan Ibrahim Al Mahdi sebagai Khalifah, kedua Al- Khuramiyah, dan ketiga adanya fitnah bahwa Al-Quran adalah makhluk. Penaklukan- penaklukan pada masa pemerintahannya sangatlah terbatas. Dia hanya mampu menaklukan Laz, sebuah tempat di Dailam pada tahun 202 H/ 817 M. Pada masanya, dia tidak menjadikan anaknya Al- Abbas, untuk menggantikan dirinya. Dia malah mengangkat saudaranya Al Mu‟tasim karena bisa melihat bahwa Al Mu‟tasim lebih memiliki banyak kelebihan dibandingkan anaknya. Setelah berkuasa selama 20 tahun. Al Ma‟mun meninggal pada tahun 218 H/ 833 M.
8.  Abu Ishaq Al-Mu‟tasim
Dia bernama Muhammad bin Harun Ar-Rasyid naik sebagai khalifah setelah mendapat wasiat dari saudaranya. Pada masa pemerintahannya, dia banyak mengangkat pasukan dari orang orang Turki, sehingga ini sama artinya dengan meletakkan   semua   masalah   pemerintahan   di   tangan   orang-orang   Turki   yang berlebihan. Pada waktu itu, Al Mu‟tasim mendukung pendapat bahwa Al Quran adalah makhluk.  Adapun  peristiwa  penting  pada  zaman  pemerintahannya  adalah  gerakan
Babik Al-Khurami. Penaklukan yang dilakukan oleh Abu Ishaq Al-Mu‟tasim pada pemerintahannya adalah penaklukan Al Muriyah yang mana banyak perbuatan yang melampaui batas kesopanan. Kemudian setelah memerintah selama 9 tahun, Abu Ishaq Al-Mu‟tasim meninggal dunia pada tahun 227 H / 833 M.
9.  Harun Al-Watsiq
Dia adalah Harun bin Muhammad Al-Mu‟tasim menjadi Khalifah setelah ayahnya Al-Mu‟tasim, pada tahun 227 H/ 841 M. Panglima-pamglima asal Turki pada masanya mencapai posisi-posisi yang sangat terhormat. Bahkan, Asynas mendapatkan gelar sultan dari Al-Watsiq. Harun Al-Watsiq meninggal pada tahun 223 H / 846 M setelah memerintah selama 5 tahun.
10. Jakfar Al Mutawakkil
Dia bernama Ja‟far bin Muhammad Al-Mu‟tasim. Ja‟far Al-Mutawakkil adalah salah seorang yang melarang dengan keras pendapat yang mentapkan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada masa pemerintahannya, orang-orang Romawi melakukan penyerangan di Dimyath, Mesir. Peristiwa ini terjadi pada tahun 238 H / 852 M. Al- Mutawakkil dibunuh oleh anaknya yang bernama Al-Muntasir pada tahun 247 H / 861 M (BSE Sejarah Kebudayaan Islam Kurikulum 2013)

Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur, khalifah kedua dari pemerintahan Bani Abbasiyah menetapkan tujuh kebijakan pemerintahan Abbasiyah sebagai kontrol pemerintahan. Dan tujuh kebijakan ini telah menjadi pedoman bagi 9 khalifah Abbasiyah pada fase pertama dalam menjalankan pmerintahannya, meskipun mereka tidak melaksanakannya secara utuh tujuh kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut adalah;
1.  Memindahkan pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dari Hasyimiyah ke Bagdad
2.  Kota Bagdad sebagai pusat kekuasaan Abbasiyah di buka menjadi kota terbuka untuk semua peradaban dari berbagai bangsa masuk. Hal ini dilakuan oleh para khalifah melihat pengalaman pola pengembanga budaya dan ilmu masa Bani Umayyah yang bersifat arab oriented, akibatnya adalah budaya dan ilmu pengetahuan menjadi lambat berkembang.
3.  Ilmu pengetahuan dipandang sabagai suatu yang sangat mulia dan berharga. Para khalifah adalah orang-orang yang sangat mencintai ilmu dan membuka kesempatan ilmu pengetahuan seluas-luasnya.
4.  Rakyat diberi beban berfikir serta memperoleh hak  asasinya dalam segala  bidang, seperti; aqidah, ibadah, filsafat, dan ilmu pengetahuan.
5.  Para menteri keturunan Persia di beri hak penuh untuk menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam memajukan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
6.  Berkat usaha khalifah Abbasiyah yang sungguh-sungguh dalam membangun ekonomi Islam, pemerintah Abbasiyah memiliki perbendaharaan harta yang cukup melimpah di baitu maal hasil rampasan perang dari kemenangan perang.
7. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan para khalifah banyak yang mendukug perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku-buku yang dikarang oleh ilmuan dalam lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang dibangun untuk memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam menimbah ilmu pengetahuan.
8.  Masyarakat  dapat  dibagi  menjadi  dua  kelompok  besar,  yaitu  kelompok  petama, kelompok khalifah, terdiri dari khalifah dan keluarga, para pembesar dan pekerja yang bekerja di istana, mereka diberi penginapan di dalam wilayah istana (daarul khalifah). Kelompok kedua, yaitu kelompok masyarakat umum yang terdiri para guru, ulama, petani, buruh, filosof dan masyarakat pada umumnya. Tujuan dari pembagian menjadi dua kelompok masyarakat dimaksud agar pembagian tugas menjadi jelas, bukan justru untuk membuat jarak antara sesama masyarakat Islam atau antara masyarakat Islam dengan masyarakat non Islam, meskipun kenyataan dalam masyarakat terjadi dikotomi dalam masyarakat Islam Abbasiyah antara para pemebesar dengan masyarakat umum terjadi perbedaan kelas masyarakat.
Delapan kebijakan khalifah Abbasiyah tersebut oleh para pakar sejarah bahwa tujuh kebijakan khalifah itu mampu meciptakan suasana belajar yang kondusif, memotivasi masyarakat Abbasiyah untuk belajar dengan sungguh-sungguh, dan mampu membentuk budaya belajar dengan sesungguhnya bagi masyarakat Abbasiyah pada umumnya.
C.  Perkembangan ilmu pengetahuan dan tokoh-tokohnya pada masa Bani Abbasiyah
Selama  beberapa  dekade  pasca  berdirinya  pada  tahun  132H/750M,  Dinasti Abbasiyah berhasil melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah- wilayah yang mereka kuasai. Era kepemimpinan Khalifah kedua, Abū Ja`far bin `Abdullāh bin  Muhamad  Al-Mansūr  (137-158H/754-775M),  menjadi  titik  yang  cukup  krusial  dalam proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam sejarah kepemimpinannya. Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh maupun bakal calon musuh serta menumpas sejumlah perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah, Kedua,  meninggalkan  Al-Anbār  dan  membangun  Baghdad  sebagai  ibukota  baru,  yang beberapa saat kemudian  menjadi fokus aktivitas ekonomi,  budaya  dan  keilmuan  dunia Muslim saat itu.
Gerakan penerjemahan yang kemudian menjadi salah satu ‟ikon‟ kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah juga tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai Khalifah pertama yang mempelopori gerakan penerjemahan sejumlah buku- buku kuno warisan peradaban pra-Islam. Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf) dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadis, fikih, sastra serta sejarah mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak mengherankan jika Al-Qanūji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai Khalifah pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam, setelah sebelumnya terabaikan oleh para Khalifah Bani Umayyah. Ada beberapa faktor kemajuan peradaban Dinasti Bani Abbasiyah, diantaranya:
1.  Faktor Politik
a.  Pindahnya ibu kota negara dari al- Hasyimiyah ke Bagdad yang  dilakukan oleh
Khalifah al-Mansyur.
b.  Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintah dan pegawai istana.
c.   Diakuinya Mu‟tazilah  sebagai mazhab resmi negara pada masa al-Makmun pada tahun 827 M.
2.  Faktor Sosiografi
a.  Meningkatnya kemakmuran umat Islam
b.  Luasnya wilayah kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Romawi dan Persia yang masuk Islam dan kemudian menjadi Muslim yang taat.
c.   Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan  bangsa-bangsa  lain  yang  lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
d.  Adanya gerakan penerjemahan buku filsafat dan ilmu dari peradaban Yunani dalam Bait al-Hikmah sehingga menjelma sebagai pusat kegiatan intelektual.
Kemajuan dinasti Abasiyyah dalam bidang agama, filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota Baghdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Baghdad adalah sebuah kota yang didirikan atas inisiatif al-Mansur yang terletak di sebelah barat sungai Tigris dikerjakan selama empat tahun oleh 100 ribu karyawan dan arsitektur dengan biaya 4000,833 dirham.
Kemajuan Islam zaman Abasiyyah ini banyak dirintis oleh khalifah Ma‟mun (813-833H) dengan mendirikan pusat kerajaan ilmu pengatahuan dan teknologi dengan nama “Darul Hikmah”. Darul Hikmah ini di samping pusat kerajinan juga sebagai pusat perpustakaan dan kantor penterjemahan ilmu-ilmu non Arab ke dalam bahasa Arab, seperti filsafat Yunani,
ilmu-ilmu  Barat.  Darul  Hikmah  membuat  sekitar  satu  juta  buku  ilmu  pengetahuan. Sedangkan dalam penterjemahan dipimpin oleh seorang ilmuwan yang bernama Hunain bin Ishaq (809-973 H). di bawah pimpinan Hunain bin Ishaq inilah banyak dihasilkan buku-buku penting yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang meliputi ilmu Kimia, Matematika, Filsafat Yunani, Astronomi dll.
Khalifah al Makmun sangat berbeda filosofi hidupnya dengan para khalifah Abbasiyah pada umumnya, juga berbeda dengan kakaknya al Amin bin Harun al Rasyid yang suka ber pestapora dengan para lelaki yang telah dibelinya dan telah dikebiri. Al Amin Telah berbuat abnormal terhadap mereka yang dijadikannya teman seranjang, sehingga al Amin menjadi bersikap dingin terhadap para Istri dan gundik-gundiknya (As Suyuthi, tt: 342). Disamping itu gaya hidup al Makmun jauh berbeda dari saudaranya al Amin, al Makmun cenderung lebih memperhatikan jalannya pemerintahan dan pembangunan  negara,  termasuk  kemajuan  dalam  bidang  ilmu  pengetahuan  dan teknologi  ,ketimbang  bersukaria  dengan  pesta  pora,  minuman  keras  dan  hasrat terhadap sesama jenis (Farag Faudah, 2008: 167).
Keterbukaan dalam pemerintahan Abbasiyah khususnya masa khalifah al Makmun sungguh-sungguh nyata, banyak jurutulis tersebar dalam birokrasi adalah orang khurosan, kelompok Kristen Nestorian berperan kuat, kelompok minoritas tertentu seperti Yahudi banyak terlibat dalam urusan perpajakan dan perbankan, keluarga-keluarga muslim Syi‟ah juga berpengaruh terhadap kebijakan politik khalifah (Ira M.Lapidus, 1999: 108). Sebagai contoh al Makmun berusaha mendekati tokoh aliran Syi‟ah pada saat itu dengan cara menikahi salah satu putrid imam Ali al Ridlo, Imam Syi‟ah kedelapan dan menyebut Ali al Ridla  sebagai pewaris  kekhalifahan sesudahnya (Keren  Armstrong,  2002:  89).  Sebagai penganut  Mu‟tazilah al  Makmun  sangat  gemar  ilmu  pngetahuan  dan  filsafat  ,  hal  ini merupakan salah satu factor yang mampu menggerakkan umat Islam untuk kemajuan ilmu Pengetahuan dan teknologi dengan pesat (Team Perumus Fakultas Teknik UMJ, 1998:104). Berdasar uraian tersebut nampaknya al Makmun memiliki filosofi pluralistis dalam berbangsa dan bernegara, sehingga tak membedakan Suku,Agama,Ras dan aliran (SARA).
Adapun faham keagamaan khalifah al Makmun adalah pengikut aliran Mu‟tazilah dalam persolan ilmu Kalam. Sebagai sorang intelektual dan negarawan al Makmun hamper tanpa cela seandainya ia tidak terseret yang terlalu dalam terhadap rasionalitas Mu‟tazilah dan menjadikannya sebagai faham resmi dalam kenegaraan pada tahun 212 H/827 M serta membuka sikap fanatisme aliran yang kemudian membawa dampak adanya peristiwa yang dikenal  dengan  Mihnah  al  Qur‟an yang  pada  prakteknya  memeriksa  batin  seseorang mengakui kemakhluqan al Qu‟an atau tidak. Jika tidak maka akan di hukum berat, praktek
inkuisisi ini muncul dimana-mana, dan faham Mu‟tazilah ini ditentang oleh Aliran ahli hadits yang di komendani Ahmad bin Hambal (Faisal Isma‟il, 2010: 244-245).
Akhir dari pertentangan dua faham dua aliran ini, dimenangkan oleh Ahmad Ibnu Hambal yang di anggap sebagai pahlawan rakyat dan mampu mengalahkan Mu‟tazilah yang sebenarnya tidak memberikan kebaikan apa-apa terhadap al Makmun, sebab Imam Ibn Hambal meninggal pada tahun 242 H/855 M, yaitu 22 tahun setelah meninggalnya al Makmun dan pada saat iyu dinasti Abbasiyah dibawah khalifah al Mutawakkil yang sudah mendukung faham ahlu al Sunnah wa al Jama‟ah termasuk mengikuti faham bahwa al Qur‟an bukan makhluq tetapi kalam Allah yang Qodim.
Dalam upaya memajukan pendidikan dan mengembangkan Ilmu pengetahuan al- Makmun menetapkan kebijakan politik pendidikan sebagaimana digambarkan oleh Philip K. Hitti secara panjang lebar, tetapi secara singkat bisa kita paparkan sebagai berikut:
1.  Al-Makmun sangat menghormati para ahli ilmu baik agama maupun umum termasuk para filasuf, sekalipun tidak seperti ayahnya Harun al Rasyid
2.  Mendirikan Perpustakaan Baitul hikmah yang didalamnya orang bisa membaca menulis dan berdiskusi
3.  Cabang-cabang ilmu keislaman muncul dan berkembang pada masa ini sperti 'ulumul Qur'an, Ilmu Qira'at, ilmu Hadits, Ilmu kalam, dan lainnya termasuk muncul dan berkembangnya Fiqih dan ushul Fiqih dalam empat madzhab semacam imam Syafi'I (150 H- 204 H)
4. Ilmu pengetahuan umum juga berkembang seperti filsafat, matematika, ilmu alam, metafisika, geometri, al jabar, aritmatika, astronomi, kedokteran kimia dan musik
5.  Penterjemahan buku-buku yang berisi tentang Ilmu pengethuan dari bahasa Yunani, Persia dan India kedalam bahasa Arab. Setelah Kebijakan Khalifah al Makmun sangat memperhatikan Ilmu tersebut ditengah masyarakat muncul dan berkembang tempat-tempat pendidikan termasuk lembaga pendidikan yang tadinya sudah berdiri, tempat-tempat pendidikan itu antara lain:
1.  Buyut al Muslimin, termasuk Darul Arqom di Makkah ketika Nabi Muhammad SAW, memulai pendidikan para sahabat, juga Buyut al Ulama.
2.  Suffah sebagian ruang di masjid
3.  Al Kuttab yaitu tempat pendidikan tingkat pemula
4.  Masjid dengan sistem Halaqah
5.  Madrasah

6.  Al Ribath yaitu lembaga pendidikan yang didirikan oleh para guru thariqoh
7.  Al Zawiyah merupakan tempat pengajaran spiritual dengan memanfaatkan sebagian dari pinggiran masjid
8.  Al  Maristan  yaitu  rumah  sakit  untuk  merawat  dan  mengobati  orang-orang  yang mengidap penyakit kronis, seperti buta dan kusta.
9.  Al qushr (Istana) yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus untuk mendidik para putra pejabat pemerintah
10. Al Hawanith al Wariqin yaitu toko buku yang juga berfungsi tempat pembelajaran
11. Al Shalun Adabiyah atau sanggar sastra yaitu tempat yang disediakan oleh Knalifah untuk membicarakan berbagai masalah penting dengan cara mengundang para Ulama
12. Al Badiyah yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan bahasa Arab kuno.
13. Observatorium yaitu lembaga pendidikan untuk penelitian dan percobaan
14. Al Maktabah
Berangkat dari uraian tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa al Makmun termasuk salah satu Khalifah Abbasiyah yang cenderung berkarakter baik, memikirkan kemajuan kekhalifahan Islam,kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat serta mampu menghindari perilaku yang bertentangan dengan syari‟at Islam, mungkin kalau boleh dianggan suatu keteledoran al Makmun, adalah memaksakan pendapat kepada umat Islam relevansinya dengan mengikuti salah satu aliansi faham tentang al Qur‟an yaitu faham Mu‟tazilah (Ghani,
2015). Berikut beberapa zaman keemasan dari Bani Abbasiyah:
1.  Kemajuan Ilmu-Ilmu Agama
Zaman Abasiyyah dikenal sebagai era keemasan ilmu pengetahuan dan Agama. Ilmu-ilmu  agama  berkembang  dengan  subur  dan  diiringi  oleh  kemunculan  tokoh-tokoh agama yang berpengaruh sampai sekarang ini. (ilmu Agama: ilmu Tafsir, ilmu Hadis, ilmu Kalam/Teologi dan ilmu Tasawuf).
a.  Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir dalama masa ini berkembang pesat karena ilmu ini sangat dibutuhkan terutama oleh orang-orang non Arab yang baru masuk Islam. Mereka butuh tentang makna dan penafsiran al-Qur‟an. Hal ini yang menyebabkan beberapa aliran muncul dalam ilmu tafsir. Penafsiran Al Qur‟an pun berkembang tidak hanya dengan penafsiran makna tetapi penafsiran “Bil al Ma’sur dan “Bi al Ro’yi”
Dalam hal ini boleh dikatakan, bahwa pemerintahan Abasiyyah yang pertama menyusun Tafsir dan memisahkan antara Tafsir dengan Hadis. Sebelum itu para kaum Muslimin menafsirkan Qur‟an melalui Hadis-Hadis Nabi, keterangan para sahabat, tabi‟in. Di antara karya besar Tafsir adalah Al-Farra‟ yang merupakan karya Tafsir pertama dengan disesuaikan dengan sistematik Al Qur‟an. Kemudian muncul At Tabari yang menghimpun kumpulan-kumpulan Tafsir dari tokoh sebelumnya. Kemudian muncul golongan Ulama‟ yang menafsirkan Al Qur‟an secara rasional, seperti Tafsir Al Jahiz.
Sedangkan para ahli Tafsir terkemuka yang muncul pada zaman Abasiyyah adalah Abu Yunus Abdus Salam Al Qozwani yang merupakan salah satu penganut aliran Tafsir bi al Ra‟yi. Sedangkan yang muncul dari aliran tafsir Bi Al Aqli adalah Amar Ibnu Muhammad al-Khawarizmi, Amir al-Hasan bin Sahl.
Muncullah beragam metode penafsiran Alquran dengan ragam madrasahnya, di antaranya metode tafsir Alquran bi al-ma‟tsur. Metode ini fokus pada riwayat-riwayat yang
sahih, baik menggunakan ayat dengan ayat, hadis, dan perkataan sahabat atau tabiin. Ada beberapa tokoh yang dikenal memomulerkan metode ini. Berikut ini jejak terakhir para imam mufasir bi al-ma‟tsur:
1)  Imam at-Thabari
Entah Anda percaya atau tidak. Makam yang berlokasi di Al-A‟dhamiyah, Baghdad, ini disebut-sebut sebagai makam Ibnu Jarir at-Thabari. Kondisi makam tokoh kelahiran Tabaristan, Persia ini, jauh dari kata layak. Bahkan memprihatinkan. Padahal ia adalah imam besar, sejarawan, sekaligus seorang mufasir. Tokoh yang wafat pada 923
M/310 H ini mengarang kitab tafsir monumental, yaitu Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil Ayy al- Qur‟an. Tafsir yang lebih dikenal dengan Tafsir at-Thabari ini menjadi rujukan para ulama pada masa berikutnya, seperti al-Baghawi, as-Suyuthi, dan juga Ibnu Katsir.
2)  Ibnu Katsir
Selain disebut sebagai sejarawan lewat karyanya al-Bidayah wa an-Nihayah, tokoh yang lahir di Busra 1301 M di Busro, Suriah ini dikenal juga sebagai seorang mufasir andal. Pemikir dan ulama Muslim ini mengarang kitab tafsir berjudul Tafsir al-Qurad al-Azhim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibn Katsir. Makam yang berada di Damaskus, Suriah ini, sebenarnya adalah makam Ibnu Taimaiyah, guru Ibnu Katsir, tetapi makam Ibnu Katsir bersebelahan dengan makam sang guru. Ibnu Katsir wafat pada 1372 M di Damaskus Suriah.
3)  As-Suyuthi
Imam as-Suyuthi dimakamkan tak jauh dari makam Imam as-Syafii di el-Qarafa el-Kubra. Selain dikenal sebagai pakar fikih Mazhaf Syafi‟i, pemilik nama lengkap Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin, Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari itu dikenal pula sebagai mufasir.   Di antara karyanya di bidang tafsir adalah kitab ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma‟tsur. Kitab tokoh kelahiran Kairo, pada 849 H/ 1445 M ini di bidang Alquran adalah al-Itqan fi „Ulum al-Alquran


b.  Ilmu Hadis
Pada zaman ini kajian Hadis sebagai sumber hukum setelah Al Qur‟an berkembang dengan cara menelusuri keontetikan (shohih) Hadis. Hal ini yang mengilhami terbentuknya ilmu-ilmu Jarhi wa Ta‟di dan ilmu Mustalahul Hadis. Beranjak dari ilmu Mustalahul Hadis dan ilmu Jarhi Wata‟dil ini para ulama‟ Hadis berhasil mengkodifikasi Hadis ke dalam kitab secara teratur dan sistemik.
Pada zaman sebelumnya belum ada pembukuan Hadis secara formal seperti Al Quran. Oleh karena itu sejarawan menganggap masa pembukuan Hadis secara sistemik
dimulai pada zaman Daulah Abasiyyah. Penggolongan Hadis dari aspek periwayatannya, sanad, matan yang akhirnya bisa diketahui apakah Hadis itu shahih, hasan, dhoif juga terjadi pada masa Abasiyyah.
Dengan demikian kajian yang mendalam serta penyeleksian Hadis pada Daulah Abasiyyah telah menghasilkan pembukuan Hadis ke dalam bentuk kitab-kitab yang masih bisa kita pelajari sampai sekarang ini. Di antara kitab-kitab Hadis yang disusun pada waktu itu ialah kitab Hadis “Kutub as-Sittah” yaitu kitab Hadis disusun oleh enam ulama‟ Hadis, yaitu Imam Muslim (wafat 261 H). beliau menyusun kitab Shohih Muslim. Kemudian Imam Bukhori (wafat 256 H), Imam Turmudzi (wafat 279 H), Ibnu Majjah (wafat 273 H), Imam Nasa‟i (wafat 303 H), Abu Daud (wafat 275 H). Dari enam ahli Hadis di atas ada dua yang dianggap paling otentik (shahih) yaitu Shahih Muslim dan Shahih Bukhari yang lebih dikenal dengan “Shahihaini”.
c.   Ilmu Kalam
Pada zaman al-Ma‟mun dan Harun al-Rasyid, ilmu kalam mendaopat tempat yang luas, bahkan ilmu kalam (teologi) sangat mempengaruhi keadaan pemerintahan saat itu. Seperti aliran Mu‟tazilah dijadikan aliran resmi pemerintah Bani Abbas. Peran ilmu kalam pada saat itu sangat besar untuk membela Islam dari paham- paham Yahudi dan Nasrani.
Dalam ilmu kalam para teolog terfokus pada bidang aqidah sebagai obyek bahasan yang meliputi keesaan Tuhan, sifat-sifat, perbuatan Tuhan dll. Pada masa ini para Ulama‟ kalam  terbagi  menjadi  dua  aliran,  pertama  aliran  yang  mengikuti  pemikiran  salaf  yang diwakili   oleh   Mu‟tazilah.  Aliran   salaf   berpegang   pada   arti   Lafdiyah/tekstual   dalam mengartikan  ayat-ayat  mutasabihat.  Sedangkan  aliran  rasionalis  memakai  /ra‟yu dalam mengartikan ayat. Di antara ulama‟ ilmu kalam yang terkenal ialah Abu Huzail al- Allaf (wafat 235 H), An-Nazzam (wafat 835 H), Bisri Ibnu Mu‟tamir, Abu Ishaq Ibrahim mereka dari an Mu‟tazila. Sedangkan yang mewakili kelompok salaf adalah Amru bin Ubaid.
Jadi ilmu kalam (teologi) pada zaman Abasiyyah ini tidak semata mengembangkan pemikiran  agama  tetapi  mengembangkan  juga  pemikiran  sosial,  politik  dan mengembangkan pemikiran umat tidak statis, baik bidang agama maupun bidang kemasyarakatan yang akhirnya berguna bagi perkembangan dan kemajuan negara.
d.  Ilmu Fiqh
Di antara kebanggan pemerintahan Abasiyyah adalah terdapatnya empat ulama Fiqh yang terkenal pada saat itu dan sampai sekarang, yaitu Imam Abu Hanifah (wafat 129 H, Imam Malik (wafat 179 H), Imam Syafi‟i  (wafat 204 H) dan Imam Ahmad bin Hambal (wafat  241  H).  keempat  ulama‟ Fiqh  tadi  yan  paling  terkenal  dalam  dunia  Islam  dan penyebarannya paling luas sampai sekarang.
Disamping empat Madhab Fiqih diatas ada beberapa Madhab yang pengaruhnya cukup terkenal saat itu, yaitu Madhab Jaririyah yang dipelopori oleh sejarawan dan pengulas Al Qur an yaitu At Tabari (Wafat 923 H),tetapi madhab ini bertambah hanya dua generasi. Madhab lain adalah madhab Dhahiriyah yang dipelopori oleh Dawud bin Ali (884), disebut madhab Dhahiriyah karena pengambilan hukumnya berdasarkan bukti dhahir (bukti tertulis Lughowi Al Qur an dan Hadis). Madhab ini berkembang di Spanyol, Syuriah dan Mesir.
Pada masa ini ada dua cara dalam mengambil hukum fiqih yang kemudian menjadi aliran tersendiri, yaitu:
1)  Ahl  al-Hadis:  Aliran  yang  berpegang  teguh  pada  nash-nash  Al  Qur‟an dan  Hadis), karena mereka menghendaki hukum  yang asli dari Rasulillah  dan  mereka menolak hukum menurut akal. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik, Imam Syafi‟i dan pengikut Sufyan As Sauri.
2)  Ahl al-Ra‟yi: Aliran yang menggunakan akal pikiran dalam mengistimbatkan hukum di samping memakai al-Qur‟an dan Hadis, Aliran ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Fuqaha‟Irak.
Dari sini kita bisa melihat, bahwa pemikiran umat Islam (Fuqoha‟) pada saat itu sangat maju sekali, dengan bukti lahirnya ulama‟ terkenal dan kirab-kitab termashur seperti yang kita lihat sekarang ini, di antaranya adalah Al-Muwatta‟ , Al-Kharaj, Al-Mustasfa dll.
e.  Ilmu Tasawuf
Di samping ilmu Fiqh, pada zaman Abasiyyah juga muncul dan berkembang ilmu Tasawuf. Ilmu ini telah menaruh pengaruh yang besar bagi kebudayaan Islam. Perkembangan ilmu ini dimulai dari perkumpulan-perkumpulan tak resmi dan diskusi keagamaan (Halaqah) dan latihan spiritual dengan membaca dzikir berulang- ulang. Hal ini berlangsung  di mana-mana khususnya  di  masjid,  kemudian  ini  menjadi  konsep-konsep spiritual yang diberi Tasawuf yang berkembang sampai abad 9 Hijriyah.
Ilmu  Tasawuf  ini  menyebar  di  penjuru  negeri  Islam  di  wilayah  Abasiyyah  yang dibawa oleh para sufi-sufi terkemuka seperti:
1)  Al-Qusyairi, nama lengkapnya Abu Kasim Abdul Karim bin Hawzin al Qusairi (wafat 465H). kitabnya yang terkenal adalah Ar-Risalah al-Qusyairiyah.
2)  Abu Haffas Umar bin Muhammad Sahabuddin (wafat 632 H) kitabnya yang terkanal adalah Awariful Ma‟arif.

Imam al Ghazali (wafat 502 H) salah satu Ulama‟ Tasawwuf yang terkenal yang lahir di Thus abad ke-5 Hijriyah. Kitabnya yang terkenal adalah Ihya‟Ulumuddin yang memuat gabungan  antara  ilmu  tasawwuf  dan  ilmu  kemasyarakatan,  kitab-kitabnya  yang  lain  Al Basith, Maqosidu Falsafah, Al munqizu mina Dhalal dll.
Dari uraian di atas tentang kemajuan ilmu-ilmu agama pada zaman Abasiyyah kita harus mengakui betapa besar sumbangan ilmu agama pada saat itu terhadap kehidupan
keberagaman  sampai  saat  ini.  Di  antara  yang  berpengaruh  adalah  ilmu  Lughah  (ilmu bahasa) yang meliputi ilmu Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma‟ani, Arudh, Kamus, Insa‟ yang dalam masa ini akan sangat berguna khususnya dalam menterjemah bahasa asing dan karya- karya sastra.
2.  Kemajuan Filsafat dan Sains
Pada masa Abasiyyah ilmu pengetahuan telah banyak mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran khalifahnya yang mendukung  kemajuan  itu.  Faktor  yang  paling  menonjol  dari  perkembangan  ini  adalah dengan dikembangkannya penterjemahan kitab-kitab non Arab ke dalam bahasa Arab yang telah dirintis oleh khalifah Ja‟far al-Mansur. Dengan memperkerjakan para ahli terjemah, di antaranya Fade Naubakt, Abdullah bin Muaqaffa‟, yang pada akhirnya ilmu-ilmu dari Barat bisa dipahami oleh masyarakat umum.
Pada masa Harun al Rasyid juga dikembangkan suatu lembaga yang mengkaji dan   mengembangkan   pengetahuan   yang   dinamakan   “Khizanat   al-Hikmah”   yang kemudian pada masa Al-Ma‟mun dikembangkan lagi menjadi “Bait Hikmah” atau akademi ilmu dikembangkan lagi menjadi “Darul Hikmah atau akademi ilmu pengetahuan yang meliputi perpustakaan, pusat penterjemahan, observatorium bintang dll.
a.  Filsafat dan Perkembangannya Zaman Abasiyyah
Filsafat berkembang pesat pada Daulah Abasiyyah terutama pada masa Al Ma‟mun dan Harun Ar Rasyid karena pada saat itu kitab- kitab Filsafat, khususnya Yunani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Yang perlu digaris bawahi adalah, para ilmuwan muslim tiada mengambil Filsafat yunani secara keseluruhan tetapi mengadakan perubahan dengan disesuaikan ke dalam ajaran Islam, sehingga menjadi filsafat Islam. Mengenai pengambilan filsafat Yunani, Montotgomery Watt mengatakan “bahwa Filsafat tidak akan hidup hanya dengan menterjemahkan dan mengulang-ulang pemikirannya orang lain, tetapi menterjemahkan filsafat hanya bisa dilakukan kalau sudah ada dasar pemikiran dari bahasa itu”. Dari sini bisa dianalisa, bahwa pengambilan filsafat Yunani dari menterjemah hanya dijadikan perbandingan dan rujukan para Filusuf  Islam untuk  menciptakan filsafat  yang  bernafas Islam,  tetapi  ada  sebagian  yang  mengambil  dan  dirubah  sesuai  dengan  ajaran-ajaran agama Islam.
Secara umum dalam bidang filsafat orang-orang Islam masih banyak mengambil dari filsafat orang-orang Islam masih banyak mengambil dari filsafat Yunani seperti filsafat Greek dan Coptic, hal ini bagi umat Islam saat itu merupakan kepentingan yang utama (Tracending Importance), pengambilan ini hanya berupa ide-ide yang pertama kali pada masa Al- Ma‟mun, seperti Al-Kindi, Ibn Sinah, Ibnu Rush yang masih mengambil ide dari Aristoteles. Yang  penting  dalam  perkembangan  Filsafat  ini  hanya  munculnya  golongan  rahasia (Jamiatus Sirriyah) yang bernama “Ihwan As-Safa” yang bergerak dalam ilmu pengetahuan khususnya Filsafat. Ihwanussafa menyusun kitab “Rasail Ihwanussafa” yang terdiri dari 51 buku. Rasail ini memuat kumpulan filsafat Islam yang meliputi Maujudat, asal usul alam, rahasia alam dll. Kebanyakan anggota Ihwanussafa ini adalah orang aliran Mu‟tazila dan Syi‟ah yang ekstrem, tokohnya adalah Abul Alla‟al Ma‟arri dan Ibnu Hayyan at Tauhidi, Ibnu Zanji. Sedangkan tokoh-tokoh dalam bidang filsafat ini adalah:
1) Abu Yusuf bin Ishaq Al Kindi (wafat 873 M) dikenal sebagai Filusuf Arab yangmemperkenalkan filsafat  Yinani  di  kalangan  kaum  muslimin.  Ajarannya  tentang filsafat “Antara agama dan filsafat sama-sama menghendaki kebenaran, agama menempuhnya  lewat  syari‟at, sedangkan  filsafat  menempuhnya  dengan  pembuktian rasio.
2)  Ibnu Sina (Aviccena) lahir tahun 980 M di Buchoro, dalam ilmu filsafat beliau banyak mengarang buku diantaranya As Sifa‟, Al Isryara, Ti‟su Rasail fil hikmah yang sebagian besar memuat hubungan agama dengan filsafat.
3)  Al Farabi, lahir di Turkistan tahun 870 M beliau berguru di Baghdad untuk mempelajari Sains dan Filsafat, banyak belajar dari guru Kristen. Filsafat Al Farabi ini merupakan bentuk  dari “Neoplatonisme”  yang  disesuaikan  dengan  dokrin  Islam.  Seperti  halnya filsafat politiknya Al Farabi banyak mengambil dari Replubic and Law-nya Plato.
4)  Ibnu Rush (Averoush) (Wafat 594 H) dalam hal filsafat beliau banyak mengambil dari ide-ide Aristoteles, dia banyak mengulas hubungan antara Filsafat dan Syari‟at.
Dalam bidang sejarah, ulama yang terkenal antara lain Ibnu Ishaq, binu Hisyam, al-Waqidi, Ibnu Qutaibah, al-Thabari dan lain-lain. Dalam bidang ilmu bumi atau geografi ulama yang terkenal : al-Yakubi dengan karyanya al-Buldan, Ibnu Kharzabah dengan bukunya al-Mawalik wa al-Mawalik dan Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studinya mengenai bidang kawasan Arab.
b.  Kemajuan Sains dan Tekonologi
Dalam bidang sains dan teknologi, orang-orang Arab masih kalah dengan orang Yunani, Sains dan Filsafat terbentuk atas rangsangan buku terjemahan dari orang Yunani. Kemudian perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) ditandai dengan berdirinya Universitas- universitas  Islam  di  Iraq  dan  Baghdad,  baru  setelah  itu  banyak  penemuan-penemuan penting tentang sains dan teknologi yang akan dibahas di bawah ini:
c.    Ilmu Kedokteran
Ilmu Kedokteran tumbuh dan berkembang pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid abad 9 M. hal ini ditandai dengan berdirinya rumah sakit yang didirikan oleh Harun Al-Rasyid dan selanjutnya berkembang menjadi 34 Rumah Sakit Islam. Rumah sakit ini dilengkapi dengan ruangan khusus wanita, apotik dan yang terpenting adalah di setiap rumah sakit dilengkapi dengan perpustakaan media serta tempat- tempat kursus kedokteran dan pengobatan. Pada masa ini juga dibentuk klinik-klinik keliling yang melayani pengobatan di penjuru negeri khususnya untuk orang-orang tak mampu.
Dalam ilmu kedokteran, Ulama‟ yang terkenal dengan zaman ini yaitu Ar-Razi dan Ibnu  Sinah.  Ar-Razi  dikenal  sebagai  ahli  kedokteran  Islam  yang  cakap  dan  ahli  kimia terbesar abad pertengahan, beliau juga dienal sebagai penemu benang Fontanel yang berguna untuk menjahit luka akibat pembedahan dan sebagainya.
Roger bacon seorang ilmuwan Barat menterjemahkan kitab Ar-Razi yang berjudul “Kitab Rahasia” ke dalam bahasanya dengan judul “De Spiritibu Et Corporibus” yang di dalamnya memuat penanggulangan penyakit cacar dan penyakit campak. Kitab Ar-Razi yang lain adalah “Al Hawi” yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan nama “Contineus” yang dijadikan rujukan oleh kedokteran Barat sampai tahun 1779 H.
Sepeninggal Ar-Razi kegemilangan ilmu kedokteran diteruskan oleh Ibnu Sinah, kitabnya yang terkenal adalah “As Sifa” (Canon of Medicine) yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin Inggris. Buku ini mendominasi pengajaran di Universitas di Eropa, paling tidak
sampai abad ke-15. Kemudian muncul ulama‟ ahli bedah yang bernama Abul Qosim Az Zahrawi yang dalam bahasa latin disebut Abul Casis (wafat 1009 M). Jadi kemajuan kedokteran pada daulah Abasiyyah ini yang mengilhami kemajuan ilmu kedokteran barat sekarang ini. Bahkan kitab-kitab Ibnu Sinah sampai sekarang masih dikaji di Universitas di Eropa.
d.  Ilmu Kimia
Dalam bidang ilmu Kimia ilmuwan yang terkenal adalah Jabir Ibnu Hayyam yang diberi gelar “Bapa Ilmu Kimia Arab” dia banyak mengemukakan teori uap, pelelehan, Sublimasi dll. Dalam teorinya Jabir bin Hayyan mengatakan, bahwa logam seperti timah putih atau hitam, besi dan tembaga bisa dirubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan zat rahasia hingga pada sampai akhir hayatnya beliau masih melakukan eksperimen tentang hal ini. Jabir bin Hayyan merupakan perintis exprerimen pertama dalam dunia Islam. Di antara eksperimennya yang kemudian menjadi teori adalah: Teori Sublimasi, teori pengasaman, teori penyulingan, teori penguapan, teori pelelehan, dan beliau dikenal dengan penemu Karbit.
Dari penemu-penemu teori baru oleh Jabir bin Hayyam dan para ilmuwan pada Daulah Abasiyyah ini, kemakmuran dan kesejahteraan semakin bertambah baik, hasil-hasil eksperimen diterapkan pada kehidupan masyarakat.
e.  Ilmu Astronomi
Ilmu Astronomi pada mulanya dipakai untuk menentukan arah kiblat kemudian pada perkembamngannya ilmu ini dipakai para pedagang, para pelaut dan para tentara untuk menyebarkan agama di luar negeri. Ulama‟ yang ahli dalam ilmu astronomi adalah Al- Khawarizmi (wafat 846) Beliau banyak membuat tabel-tabel tentang  letak  negara, peta dunia, penetapan bujur-bujur panjang semua tempat di muka bumi ini sekaligus mengukur jarak antara negara satu dengan negara yang lain. Teori ini dikumpulkan kemudian disebarkan di masyarakat.
Dengan  ilmu  Astronomi,  sekitar  abad  ke  7–9  H.  para  pedagang  muslim  sudah sampai pada negeri Tiongkok melalui laut, mendarat di pulau Zanzubar, pesisir Afrika, bahkan sampai pada negeri Rusia.Selain Al-Kawariszimi ada ulama‟ yang bernama Ibnu Kardabah yang banyak menemukan teori perbintangan dan ilmu Falak. Ibnu kardabah juga banyak menulis buku tentang Astronomi, diantaranya Al-Mashalih wal Mawalik, Al-Buldan, Al Jihani dan Al Muhtasar.Dengan ditemukannya ilmu Astronomi, umat Islam bisa menjual hasil pertaniannya dan kerajinannya ke negeri Tiongkok, Zanzibar sekaligus mendatangkan hasil karya dari negeri lain untuk dijual di negeri isam. Pemerintahan Abasiyyah semakin kaya karena setiap hasil perdagangan (ekspor/Impor) dikenakan pajak untuk negara,kemauan oleh negara disalurkan pada rakyat yang miskin.
f.   Ilmu Matematika
Dalam ilmu ini orang Arab (Islam) memberikan sumbangan yang besar sekali bagi peradaban manusia dengan menemukan “Angka Arab“ seperti yang kita pakai sampai sekarang (123456789). Orang-orang Islam dibawah pimpinan Ibnu Haitam dan Al- Khawarizimi membut teori matematika, di antaranya adalah teori Al-Jabar, cara menghitung akar kuadrat dan desimal. Pada perkembangan selanjutnya Ibnu Haitam berhasil menemukan ilmu untuk mengukur sudut yang diberi nama Trigonometri.
Disamping ilmu-ilmu yang sudah diterangkan diatas tadi, masih ada beberapa ilmu yang ditemukan tetapi belum banyak berkambang zaman Abasiyyah ini, penemuan- penemuan ilmu ini masih belum dibukukan secara sistematik, ilmu-ilmu itu adalah ilmu fisikis (Botani) yaitu ilmu tentang tumbuh-tumbuhan, ilmu Fisika, ilmu Geografi dan ilmu Sejarah.
D.  Faktor-faktor runtuhnya Bani Abbasiyah
Pemberontakan terjadi hampir di setiap pemerintahan termasuk pada masa pemerintahan Abbasiyah. Pemberontakan itu terjadi karena perebutan kekuasaan, balas dendam, praktek perilaku amoral dari khalifah dan pembesar istana, sistem peralihan kekusaan monarchi, dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan pemerintah.
Perebutan kekuasaan dalam masa pemerintahan Abbasiyah terjadi sejak dua putra Harun al-Rasyid ditetapkan sebagai khalifah pengganti bapaknya. Apakah putra mahkota al- Amin  atau  adiknya  al-Makmum  pada  satu  tahun  berjalan.  Dalam  masyarakat  Islam Abbasiyah terjadi saling menjagokan masing-masing calon. Di satu pihak ada yang menjagokan al-Amin, di pihak yang lain ada juga yang menjagokan al- Makmum sebagai khalifah. Kondisi ini terjadi sampai satu tahun berjalan baru pemerintah dapat memutuskan al-Amin menjadi khalifah ke-6, selanjutnya al-Makmum menjadi khalifah ke-7 setelah al- Amin. Dalam sejarah perkembangan Bani Abbasiyah disebutkan sebagai awal perebutan kekuasaan di Bani Abbasiyah
Faktor Kehancurnya Abasyah disebabkan oleh dua faktor besar, yaitu faktor internal dan eksternal;
1.  Faktor Internal

Perebutan kekuasaan berkepanjangan dalam istana Abbasiyah menimbulkan respon buruk  dari  masyarakat.  Ditambah  dengan  perilaku  amoral  yang  ditunjukkan  oleh  para khalifah dan pembesar istana mulai dari khalifah 10 dan seterusnya. Perebutan kekuasaan bagi sebuah kerajaan yang memakai pola pengangkatan kepemimpinan,“monarchi oriented” Adalah sebuah kenistaan, karena putra mahkota yang lebih dari satu tidak akan pernah memberi ruang bagi sesama kandidat. Dan hal itu terjadi hampir di semua kerajaan Islam mulai dari Umayyah I, Abbasiyah, Umayyah II Andalusia, Turki Usmani, Persia dan Mughal India.
Praktek-praktek amoral yang dilakukan oleh khalifah adalah setiap akhir tahun berjalan, dengan mengadakan acara-acara seremonial di istana untuk menghibur khalifah dan para pembesar istana dengan alasan refresing. Yang terjadi adalah mendatangkan para wanita-wanita penghibur dan membeli berbagai macam minuman keras dengan berbagai merek dari negara-negara barat. Tujunnya adalah unuk menghibur para khalifah dan pembesar yang bekerja setahun penuh. Pertanyaannya adalah apakah tidak ada cara lain untuk menghibur khalifah dan para pembesar selain yang amoral tersebut?.
Kenyataan dalam sejarah bahwa, acara-acara tesebut yang diprakktekan secara rutin oleh para pembesar istana. Akibatnya adalah bisa dibayangkan bahwa masyarakat benci kepada para khalifah dan pembesar. Kebencian terhadap pemerintahan Abbasiyah itu merata  hampir  di  semuah  wilayah  Abbasiyah,  puncak  ketidaksenangan  masyarakat  itu adalah banyak wilayah yang lepas dan minta merdeka dari pusat pemerintahan Abbasiyah. Dalam sejarah Islam kondisi ini disebut masa disintegrasi. Kondisi ini puncaknya terjadi pada abad ke X M, ketika terjadi Perang Salib pertama abad ke X. Umat Islam tidak dapat menahan serangan pasukan Salib dan kalah dalam perang.
2.  Faktor Eksternal
505 tahun perjalaan Bani Abbasiyah memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan peradaban dunia, terutama pada periode klasik atau abad pertengahan. Tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan pada abad pertengahan tersebut menyebabkan umat Islam lengah dan selanjutnya menjadi hancur. Ada beberapa proses yang menyebabkan umat Islam menjadi lemah dan kemudian hancur dari luar, antara lain:
a.  Wilayah Abbasiyah yang terlalu luas
Luasnya wilayah Abbasiyah menyebabkan banyak wilayah yang secara geografis jauh dari pusat pemerintahan Bagdad tidak dipantau dan dibina secara intensif oleh pemerintah Abbasiyah. Luasnya wilayah juga menyebabkan pemerintah tidak adil dalam memberikan hak wilayah bagian dari baitul maal untuk pembangunan infrastruktur berupa bangunan  fisik,  seperti  irigasi,  jalan  raya,  jembatan  penghubung  kota  dan  sarana pendidikan. Sementara kewajiban wilayah-wilayah bagian harus disampaikan secara rutin ke  baitul  maal  (kas  negara).  Akibatnya  banyak  wilayah  bagian  yang  lepas  dan  minta merdeka dari Abbasiyah, seperi Touland dan Fatimiyah di Mesir, Sabaktakim di wilayah Persia, Idrisi dan Thohiriyah di Maroko. Masa ini disebut masa disintegrasi Abbasiyah.
b.  Perang Salib
Perang salib berlangsung selama kurang lebih 200 tahun (1096- 1287M). Perang salib berlangsung di wilayah yang merupakan pusat-pusat perkembangan Islam, di mana banyak fasilitas pendidikan dan fasilitas umum yang rusak, seperti sekolah, masjid, istana dan lembaga-lembaga pemerintah atau umum yang rusak. Selain itu banyak masyarakat
yang ikut korban akibat dari perang yang berlangsung selama kurang lebih 200 tahun, baik itu dari pihak nasrani maupun dari pihak Islam.
c.   Serangan Tentara Mongol
Penyerangan Mongol dilakukan mulai tahun 1220 M oleh penguasa Timur Leng, Jengis Khan. Penyerangan di mulai dari dua pusat peradaban Abbasiyah di wilayah Tranxiaonia, Bukhara dan Samarkan. Selanjutnya penyerangannya dilanjutkan ke daerah Abbasiyah lainnya, Tajekistan, Turkistan, Armenia daerah sampai ke Anatonia. Terakhir tahun 1258 M penyerangan diarahkan ke pusat kekuasaan Abbasiyah; mulai dari Syiria, Kufah,  Jaffa,  Hira,  Anhar,  Damaskus  dan  kota  Baghdad  sebagai  pusat  kekuasaan Abbasiyah tahun 1258M dengan cara kota Baghdad dibakar dan dibumihanguskan.
d.  Berdiri Turki Usmania
Berdiri kerajaan Turki Usmani tahun 1292 M dengan membawa misi untuk menyelamatkan  wilayah-wilayah  Abbasiyah  yang  telah  dihancurkan  pasukan  Mongol ternyata dalam kenyataannya justru ikut memperparah kehancuran Abbasiyah di wilayah- wilayah Abbasiyah yang berdekatan dengan berdirinya Turki Usmani yaitu justru terjadi perang terbuka yang menyebabkan tambah parah kekuasaan Abbasiyah.

No comments:

Post a Comment


ARTIKEL TERKAIT:



Manajemen
1. Kepemimpinan
2. Teori Kebutuhan Menurut Abraham Maslow