Friday, November 1, 2013

Antara "Mengajar dan Mendidik"

Berbicara tentang pengertian “MENGAJAR” kalau dilihat esensinya dalam proses belajar “MENGAJAR”, sudah menyangkut kegiatan “MENDIDIK”, dalam artian untuk mengantarkan anak kepada tingkat kedewasaanya, baik secara fisik maupun mental. Tetapi dalam uraian berikut ini mencoba membedakan, dengan suatu maksud memberikan suatu penanaman terhadap kenyataan yang kini sedang berkembang. Kenyataan yang dimaksud adalah keadaan proses dan hasil pengajaran di sekolah-sekolah. Sehingga pembedaan ini tidak bersifat esensial dan konseptual. Oleh karena itu maka kata “MENGAJAR” dan “MENDIDIK” akan ditempatkan di antara tanda petik (“……….”)
Memang kalau dilihat dari segi asal katanya, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. ““MENGAJAR”” adalah memberi pelajaran, semisal pelajaran matematika, memberi pelajaran bahasa, memberi pelajaran geografi, agar siswa yang diajar itu mengetahui dan paham tentang bahan yang diajarkan tadi. Sedang ““MENDIDIK” “ adalah memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut umum, memang ““MENGAJAR”” diartikan sebagai usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa/anak didik. Jadi ““MENGAJAR”” lebih cenderung kepada transfer of knowledge.
Kenyataan ““MENGAJAR”” yang lebih menekankan transfer of knowledge, inilah justru banyak berkembang di sekolah-sekolah. Kebanyakan guru dan juga orang tua wali sudah merasa puas kalau para anak didik mendapatkan nilai baik pada hasil ulanganya. Jadi penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya. Yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara serius. Cara evaluasi yang dilakukan oleh oleh guru pun juga hanya melihat bagaimana hasil pekerjaan ujian, ulangan atau tugas yang diberikannya. Ini semua mendukung suatu pengertian bahwa ““MENGAJAR”” hanya terbatas pada soal kognitif dan paling-paling ditambah keterampilan dan masih jarang yang sampai pada unsur afeksi.
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan suatu kasus yang cukup menarik. Pada suatu hari ada seorang guru dan siswa dari suatu SMA, sama-sama naik Colt kampus. Di dalam Colt itu pun keduanya tidak pernah tegur sapa. Kemudian setelah sampai di depan gedung sekolahnya, guru itupun turun duluan dan siswanya dari belakang mengacungkan kepalan tanganya. Ilustri ini menunjukkan bahwa seorang guru tadi hanya diakui eksistensisnya sebagai guru kalau berada hanya di depan kelas saja, tetapi kalau di luar kelas sudah bukan apa-apa lagi, bahkan mungkin dianggap musuh karena guru itu dipandang sebagai guru yang kejam. Kejadian-kejadian lain banyak, misalnya para siswa mengeroyok gurunya, hanya karena nilai rapornya jelek atau karena tidak naik kelas. Padahal semua ini hanya sekedar symbol atau tahapan tertentu, bukan tujuan.
Kasus dan kejadian seperti dicontohkan di atas, sebagai petunjuk atau akbiat dari ““MENGAJAR”” yang hanya transfer of knowledge, dan subjek belajar seolah-olah hanya membutuhkan pengetahuan saja. Padahal tujuan belajar secara esensial, disamping untuk mendapatkan pengetahuan, juga keterampilan dan untuk pembinaan sikap mental. Dengan demikian tidak cukup kalau hanya dilakukan proses pengajaran yang transfer of knowledge. Itulah maka ““MENGAJAR”” harus sekaligus ““MENDIDIK””.
““MENDIDIK”” dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu ““MENDIDIK”” dikatakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak anak didik. Dibandingkan dengan pengertian ““MENGAJAR””, maka pengertian  ““MENDIDIK”” lebih mendasar. ““MENDIDIK”” tidak sekedar transfer of knowledge, tetapi juga transfer of values. ““MENDIDIK”” diartikan secara utuh, baik antara kognitif, psikomotorik maupun afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berpribadi.
Berkait dengan soal pembentukan kepribadian anak didik, maka ““MENDIDIK”” juga harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir suatu sikap yang baik.
Sehubungan dengan uraian dan kenyataan di atas, maka ““MENGAJAR”” dalam kegiatan belajar-”MENGAJAR” harus diterjemahkan secara konseptual, disinkronisasikan dengan pengertian ““MENDIDIK””. Oleh karena itu Raka Joni, memberikan batasan “MENGAJAR” adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh penegtahuan, keterampilan dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi.
(Sardiman, 2005:51)
Sumber : Sardiman. 2005. Interaksi dan motivasi belajar “MENGAJAR”. Jakarta. Raja Grafindo

No comments:

Post a Comment


ARTIKEL TERKAIT:



Manajemen
1. Kepemimpinan
2. Teori Kebutuhan Menurut Abraham Maslow