Untuk mengkaji tentang sejarah peradaban Islam kita perlu memahami tentang
keadaan
geografis, sosio-ekonomi, dan historis
Jazirah
Arab yang
telah
melahirkan agama Islam. Mengkaji asal-usul agama Islam dari berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, geografi dan politik hádala penting, karena untuk mengetahui
kejadian secara
komprehensif, maka harus dikaji dari
berbagai dimensi dimana fenomena itu muncul.
A. Geografis Jazirah Arab
Jazirah secara etimologi berasal dari
bahasa
Arab yang
berarti kepulauan,
Arab secara etimologi berasal dari kata arabia berarti gurun pasir atau sahara. Menurut Nuldeke, seorang Ahli KeTimuran dari Jerman
sebab sebagian besar wilayah Arab
terdiri dari gurun pasir. Tetapi menurut Muhammad Hasyim Athiyah, kata Arab berasal dari kata abar artinya rahlah atau kembara, sebab
bangsa Arab adalah bangsa yang suka berpindah.
Dari segi geografis sebenarnya Arab bukanlah sebuah kepulauan sebab dari empat penjuru perbatasannya
masih
ada satu yang
tidak
berbatasan dengan
laut, yaitu
di sebelah
Utara
Jazirah
Arab
berbatasan dengan gurun
Iran dan gurun Syiria, di
sebelah Selatan berbatasan dengan
lautan Indonesia, di
sebelah
Barat berbatasan dengan lautan Merah, dan di sebelah Timur berbatasan
dengan teluk Persia. Jazirah
Arab terletak
di
sebelah Barat daya Asia, terbagi atas dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian tepi.
Pertama penulis akan membahas
tentang keadaan Jazirah Arab
bagian tengah. Bagian
tengah Jazirah Arab
terdiri dari
tanah pegunungan yang
tandus,
karena itulah
penduduknya nomaden, yakni hidup berpindah-pindah,
mencari
daerah yang
subur, untuk
makan bagi ternak mereka. Penduduk
daerah ini dinamakan suku Badui yang mendiami daerah gurun pasir. Orang Badui ini senang
hidup
bebas, mereka
enggan
menetap
dan
enggan bercocok
tanam. Wilayah ini
termasuk di dalamnya adalah daerah Najed
dan al-Ahqaf. Karena
penduduknya
berpindah-pindah maka
mereka tidak tenang untuk menciptakan kebudayaan dan peradabannya.
Penduduk
padang pasir
ini
mempunyai sifat berani, karena
memang banyak
mengalami
kesulitan yang
mengakibatkan keberanian tersebut. Tetapi keberanian
ini
sering
disalahgunakan, di
antaranya
untuk memerangi penduduk yang
menempati
daerah subur.
Sebab
itu, sering
terjadi peperangan merebutkan tempat-tempat subur di antara bangsa yang mendiami daerah
tengah tersebut.
Adapun keadaan Jazirah
Arab
bagian tepi, terdiri dari
tanah yang subur
karena curah hujan
cukup, dan penduduknya bukanlah
pengembara. Wilayah ini adalah
Yaman, Hijaz, Oman, Hadramaut. Karena mereka menetap, maka
mereka berhasil
menciptakan
berbagai bentuk dari
kebudayaan, mendirikan
kerajaan-kerajaan, di
antaranya adalah
kerajaan Saba’ yang
terkenal dengan
kepemimpinannya, yaitu
ratu Bulqis, kerajaan Himyar Manadhirah, dan
kerajaan Chassniyah.
Mengenai Negeri Saba’, dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan
Tuhan) di tepi tempat kediaman mereka, yakni dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri
(lepada mereka
dikatakan), “Makanlah olehmu dari
rezeki yang
(Dianugrahkan)
Tuhan-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik (nyaman) dan sedang (Tuhan-mu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” ( QS. Saba’ [34]: 15).
Penduduk
Yaman sudah memiliki
sistem pengairan dengan
membuat bendungan air untuk mengairi kebun-kebun dan tanah pertanian. Karena
bangsa ini sebagian besar penduduknya adalah pedagang, maka mereka juga berkunjung ke daratan lain seperti Hindia, Tiongkok dan Sumatra.
Gurun pasir sekitar
Makkah, tempat kelahiran
Islam adalah tempat yang
tidak ramah, dan memperlihatkan cara
hidup yang primitif. Philip K. Hitti dalam karyanya yang
terkenal, History of The Arabs, dengan jelas
menggambarkan, permukaan
Arab hampir seluruhnya gurun
pasir dengan
daerah sempit yang dapat dihuni di sekitar pinggiran. Ketika jumlah penduduknya bertambah melampaui
kapasitas tanah yang dapat
menampungnya mereka
harus
mencari tanah yang
luas. Tetapi
mereka tidak dapat bergerak
ke dalam karena gurun pasir atau keluar karena adanya laut.
Keduanya merupakan
batas-batas yang diklaim masa pra Islam hampir tidak
dapat
dilalui. Mereka kemudian menemukan satu jalan terbuka menuju Tepi
Barat semenanjung Arab dan terus menuju Arab Utara dan semenanjung Sinai dan berakhir di lembah sungai Nil.
Sebagian
besar
daerah
Arab adalah
padang pasir sahara
yang
terletak di
Tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia masih
bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1. Sahara Langit, memanjang 140 mil dari Utara ke Selatan dan 180 mil dari
Timur
ke
Barat,
disebut
juga Sahara
Nufud, Oase dan mata air sangat
jarang. Tiupan angin
sering kali menimbulkan kabut debu
yang
mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2. Sahara Selatan, yang membentangi, menyambung Sahara Langit ke Timur
sampai ke Selatan Persia. Hampir
seluruhnya merupakan daratan yang keras,
tandus dan pasir
bergelombang.
Daerah ini juga disebut dengan ar-
Rub al-Khali (bagian yang sepi)
3. Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berdebu hitam
bagaikan terbakar gugusan batu-batu hitam yang menyebar di
keluasan Sahara ini yang jumlahnya mencapai 29 buah.
Makkah
tempat kelahiran
Islam
berada di pinggiran gurun pasir yang
sangat luas. Gurun pasir ini dihuni
oleh
penduduk yang disebut
Badui. Sebagaimana keturunan
Semit, mereka adalah kelompok suku nomad, hanya beberapa
yang tinggal
di
dekat Oase dan menjalani
kehidupan yang menetap.
Bagi kebanyakan suku Badui, nomadisme
adalah watak mereka. Seperti halnya masyarakat
industri yang
telah
menghasilkan
kebiasaan
dan
cara hidup tertentu, masyarakat
nomad juga mempunyai lembaga, kebiasaan dan kebudayaan mereka sendiri. Mungkin kita setuju dengan Philiph K. Hitti yang menyatakan bahwa nomadisme gurun pasir Arab itu sama dengan
industrialisme
di Detroit atau Manchester, yakni
dalam menjalani
realitas kehidupan yang mereka pahami.
B. Agama Bangsa Arab Pra Islam
Agama
bangsa Arab sebelum kedatangan Islam sangat beragam, ada yang menyembah Allah, ada yang menyembah Matahari, Bulan, Bintang, bahkan
ada
pula yang
menyembah
patung dan api. Ada
pula yang
beragama Nasrani dan Yahudi.
Ka’bah menjadi pusat tempat mereka beribadah. Menurut riwayat, dalam
Ka’bah itu terdapat 360 buah
patung yang
bermacam-macam
bentuk dan warna menurut kemauan masing-masing kabilah dan suku.
Dalam lingkungan masyarakat ini,
yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada
sumber agama,
dilahirkan para
Rasul yang membawa agama-agama yang kita kenali
sampai saat
ini. Berhadapan dengan
agama
Masehi yang terbesar, berdiri
pula kesatuan
agama majusi di
India. Selama
beberapa abad
itu
Austria dan Mesir
yang
membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan,
peradaban
Barat dan Timur. Tetapi dengan
masuknya Mesir dan
Funisia ke
dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham
Masehi Barat
dan Majusi Timur sekarang
sudah berhadap-hadapan muka. Selama
berabad-abad berturut-turut, baik
Barat
maupun Timur,
dengan hendak menghormati agama masing-masing, yang sedianya berhadapan
dengan rintangan moril, masing-masing mereka perlu dengan
sekuat tenaga berusaha
mempertahankan kepercayaannya, dan satu
sama lain
tidak saling
mempengaruhi kepercayaan dan peradabannya, sekalipun peperangan antara
mereka itu berlangsung terus menerus sampai sekian lama.
Mayoritas penganut Yahudi
tersebut bercocok
tanam
dan membuat
alat-
alat besi, seperti
perhiasan,
dan
persenjataan. Begitu juga
penganut
Kristen, karena
mereka sama-sama terpengaruh dari
kebudayaan
Hellenisme
dan
pemikiran
Yunani. Aliran Kristen
yang masuk
ke Jazirah Arab ialah aliran
Nesturian
di
Hirrah dan aliran Jarob Barady
di
Ghasan. Daerah Kristen yang terpenting
adalah Najran, sebuah
daerah yang
subur. Penganut agama Kristen
tersebut berhubungan
dengan Habasyah (Ethiopia),
negara yang
melindungi agama ini.
Kepercayaan terhadap agama tauhid ini lama-kelamaan berubah menjadi penyembahan terhadap berhala. Menurut riwayat Ibnu
Khalbi dalam
kitab al-
Ashnam, perubahan kepercayaan
itu terjadi karena
adat bangsa
Arab untuk membawa batu
yang
diambil
dari sekeliling ka’bah
bila mereka
akan meninggalkan kota Makkah. Hal tersebut
dilakukan karena mereka mencintai kota
Makkah dan Ka’bahnya. Dimanapun mereka berada, batu
yang mereka
bawa dari sekeliling
Ka’bah itu dipujanya
sebagaimana mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Kemudian
di
antara batu-batu yang mereka puja itu dipindahkan di sekeliling Ka’bah. Maka
penuhlah Ka’bah itu dengan
berhala-berhala. Sebenarnya
masih ada orang yang tetap mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa (Allah), tetapi terkontaminasi pada pemujaan berhala,
sehingga mereka menjadikan berhala itu sebagai perantaranya. Sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an:
“Kami
tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka
(berhala-berhala itu) mendekatkan kami kepada
Allah sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
Agama bangsa Arab
bisa disebut humanisme suku artinya
makna
kehidupan itu terwujud
dalam keunggulan sifat manusia,
yaitu semua
kualitas yang bisa
sejalan dengan cita-cita kemanusiaan atau keberanian bangsa Arab. Sifat keunggulan
ini berada di tangan suku, bukan terletak
di individu, hal
ini
karena ia menjadi anggota suku. Yang menjadi
tujuan setiap
orang adalah
menjaga
kehormatan
suku.
Kehidupan akan bermakna bagi
dirinya
jika kehidupan itu terhormat
dan semua tindakan
yang menimbulkan aib
dan rasa
malu
harus dihindari sebisa mungkin. Kota
terpenting di daerah ini adalah Makkah. Kota suci tempat berdirinya Ka’bah. Pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh
penganut asli Makkah
tetapi juga
orang-orang
Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
C. Peradaban
Bangsa Arab
Untuk mengamankan para peziarah
yang
datang ke
kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada
mulanya berada
di tangan dua
suku yang
berkuasa,
yaitu
suku
Jurhum sebagai pemegang
kekuasaan
politik dan
suku Ismail
(keturunan Nabi Ibrahim as.) sebagai pemegang
kekuasaan
atas Ka’bah.
Kekuasaan
politik
kemudian berpindah ke suku
Khuza’ah dan akhirnya
ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir
inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan
urusan-urusan yang
berhubungan dengan Ka’bah.
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya menetap
menimbulkan gangguan
juga dalam Jazirah itu.
Misalnya gangguan Raja-raja
Yaman yang kadang
dari keluarga Himyar yang sudah turun temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada
waktu
Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri lebih condong kepada
agama
Musa (Yudaisme), dan tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama dari orang-orang Yahudi yang
berpindah
dan
menetap
di Yaman.
Dhu Nuwas inilah
yang disebut oleh
para ahli sejarah yang termasuk dalam kisah orang-orang yang membuat parit.
Bangsa
Arab adalah bangsa pecinta syair. Penyair-penyair mereka sangat
berpengaruh terhadap masyarakat. Tetapi karena sudah kemasukan faham kebendaan, maka
syair mereka itu hanya memuja suku, kenikmatan, dan kemegahan.
Rakyat bangsa
tersebut mempunyai
kebiasaan
pagelaran
puisi
yang diselenggarakan di
pasar-pasar
seperti Ukaz
dan
Zulmajz. Biasanya
syair
atau puisi
yang baik itu mereka
gantungkan di Ka’bah dan berhala kebesaran
mereka.
Kabilah-Kabilah Arab
meriwayatkan al-ayyam (hari-hari penting)
yang terdiri dari peperangan dan kemenangan, untuk tujuan membayangkan atau
membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah
lain, baik dalam bentuk
syair
maupun prosa
yang diselang-selangi syair. Syair
itulah yang melestarikan
perpindahan
dan mendiseminasikan
berita itu.
Apabila syair itu
terlupakan, maka riwayat-riwayat kuno itu juga terlupakan. Hal
inilah yag memungkinkan
sejarawan masa Islam mengetahui masa itu tentang Arab.
Meskipun tidak
keseluruhannya menggambarkan kenyataan, berita itu bertolak dari realitas.
Bangsa
Badui tidak mempunyai agama formal
tertentu. Mereka
tidak menyembah Tuhan. Meskipun mereka mempercayai
adanya nasib. Mereka
mempunyai
sistem etika dan
nilai sendiri.
dalam masyarakat
nomad
pedalaman, kolektivisme
suku
beserta
aturan
perilaku yang
tidak tertulis, jika
diamati dengan cermat, mencegah
timbulnya
pertentangan pribadi
meskipun konflik antar suku telah menimbulkan
permusuhan dan peperangan
dalam
masyarakat suku. Karena kepentingan individu berada
di bawah kepentingan bersama (kolektif). Konflik antar individu
jadi berkurang. Oleh karena
itu, masyarakat
seperti ini tidak menghasilkan
puisi
tentang pahlawan
besar, karena
tidak
ada pertentangan
individu yang menjadi syarat terciptanya puisi tersebut. Puisi Jahilliyah (pra
Islam) tidak menggambarkan tentang konflik
pribadi, tetapi berisi nyanyian kemenangan
suku dan pengekspresian etos keberanian, kemurahan hati, kehormatan dan keunggulan keturunan.
Perang adalah jalan yang paling mudah
bagi kabilah-kabilah
ini
bila timbul
perselisihan yang
tidak
mudah
diselesaikan
dengan cara
terhormat. Karena
inilah
timbul dikalangan kabilah-kabilah
tersebut sifat-sifat
prestise,
keberanian,
suka menolong, melindungi tetangga serta
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat
ini makin kuat apabila semakin
dekat
kepada kehidupan pedalaman.
Peristiwa-peristiwa
perang antar
kabilah
Arab itu diabadikan
dalam banyak
gubahan
syair
atau kisah
yang diselingi dengan
syair
dengan maksud
untuk
membangga-banggakan kabilah satu terhadap kabilah lain. Syair
itu diwariskan secara turun temurun secara lisan. Syair-syair dan prosa tersebut
pada awal Islam dihimpun secara
tertulis pada abad
II
H./VIII M. dalam buku- buku terutama
buku sastra. Diriwayatkan Abu Ubaidah (w. 211 H.) telah menghimpun
1200 peristiwa perang
di dalam buku
sastra yang kemudian
menjadi referensi bagi yang datang
sesudahnya. Buku
ini tidak ditemukan lagi,
tetapi ditemukan
pada penjelasan-penjelasan para kritikus
sastra atau
sejarawan
terhadap beberapa syair yang terdapat
dalam
buku
tersebut,
seperti
pada buku Sejarah Lengkap karya
Ibnu al-Atsar dan pada buku at-Taqd al- Farid (Kalung Unik) karya Ibnu Abd Rabbih.
Bentuk tradisi Arab
pra Islam yang mengandung informasi sejarah lainnya
adalah al-Ansab (jamak
dari nasab: silsilah/geneology). Sejak
masa jahiliyah
orang-orang Arab sangat memperhatikan dan memelihara pengetahuan tentang
nasab. Ketika itu pengetahuan tentang nasab ini merupakan salah satu cabang kajian yang dianggap penting. Setiap kabilah hafal akan silsilahnya. Semua
anggota keluarga menghafalkannya
agar tetap murni
dan
silsilah
itu
dibanggakan terhadap kabilah-kabilah lain.
Makkah muncul sebagai pusat kota karena lokasi yang berada di sepanjang
rute perdagangan yang membentang dari Arabia Selatan sampai Utara
yang menjadi lalu lintas perdagangan
mulai dari Mediteranian, teluk Persia, Laut Merah
melalui Jeddah dan keluar ke Perbatasan Afrika. Kota Makkah menjadi semakin
ramai karena menjadi persinggahan para pedagang yang melakukan perjalanan
dagang.
Di
lokasi ini
juga terdapat Ka’bah sebagai pusat peribadatan seja
zaman dahulu dan juga terdapat sumur zam zam.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa peradaban bangsa
Arab pra
Islam sangat tinggi dan telah mengalami kemajuan pesat
di berbagai
bidang. Tetapi kenapa
dikatakan jahiliyah?
lalu di manakah letak kejahiliyahannya?
Jahiliyah berasal dari kata jahila-yajhilu yang berarti bodoh atau tiada tahu,
kemudian dalam struktur gramatikal bahasa
Arab menjadi masdar yaitu jahiliyah berarti kebodohan, keterbelakangan. Jahiliyah bisa juga
berarti
kebodohan atau keterbelakangan dalam hal agama.
Kata jahiliyah sendiri muncul setelah datangnya
Islam, kata jahiliyah muncul
dikarenakan beberapa
tata sosial
budaya bangsa Arab tidak sesuai dengan
ajaran yang dibawa
Islam. Penulis kurang
sepakat bahwa Arab
pra
Islam adalah
jahiliyah bila ditinjau dari segi ilmu pengetahuan, arsitektur,
sastra,
kemajuan ekonomi dan
lain sebagainya.
Namun ada beberapa
hal yang
menjadi
bukti
untuk menjustifikasi bahwa mereka
adalah jahiliyah menurut Islam maupun etika sosial saat ini adalah:
1.
Kebiasaan membunuh anak perempuan karena takut lapar dan malu.
Alasan mereka bahwa anak perempuan adalah biang dari petaka adalah
karena dari segi fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki, ketika
lemah secara otomatis akan menjadi batu sandungan bagi sang ayah atau
ketua kelompok dan tidak bisa diajak berperang. Dan akan mengurangi
pengaruh kabilahnya dalam percaturan dunia, penghambat pembangunan,
kurang bisa mandiri dan menggantungkan pada laki-laki dan itu semua
adalah aib bagi mereka maka harus ditutupi dan kalau perlu dibuang.
Dengan fenomena tersebut hak-hak perempuan tidak terpenuhi bahkan
tidak akan terpenuhi. Penghormatan dan pengagungan kaum perempuan
berubah menjadi pelecehan seksual
dan
psikologi.
Peran perempuan
dikerdilkan menjadi masak, macak, manak atau sebagai simbol seks dan
pelestari nasab. Inilah salah satu yang ditentang Islam sesuai dengan firman
Allah yang artinya “sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah
adalah yang
paling bertaqwa”.
2. Kebiasaan
buruk lainnya
adalah kebiasaan
berperang sesuai
dengan karakteristik geografis yang panas, tandus dan gersang akan membentuk
karakter keras dan temperamental sehingga
mudah terprovokasi dan terpecah belah, di samping itu perang akan membangun watak yang mudah
curiga (paranoid), ambisius, dan trauma akut karena melihat peristiwa-
peristiwa yang tidak manusiawi secara
langsung atau mengalami
peristiwa tersebut. Jika fenomena tersebut dipertahankan, maka persatuan bangsa Arab sulit dicapai, kecuali ketika mereka mempunyai
pimpinan yang kuat. Kebiasaan berperang juga membangun watak yang waspada, teliti, optimis, dan setia kawan sebab itu adalah termasuk strategi dasar dalam berperang.
Perang juga membuat
orang jadi prihatin, tenggang rasa,
dan mempunyai daya
tahan hidup yang
kuat dalam
menghadapi
cobaan sebagai
akibat peperangan tersebut. Beberapa sifat
di
atas ternyata bangsa Arab
mampu
memimpin
dunia
selama 17
abad.
Atas alasan
apapun perang adalah
tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung perdamaian meski dalam perbedaan sesuai
dengan petikan ayat
Al-Qur’an yang
artinya
“Sesungguhnya Aku ciptakan kamu dalam
berbagai
suku, bangsa untuk saling mengenal”.
3. Dalam hal kepercayaan bangsa Arab jahiliyah juga ditentang Islam. Yaitu kebiasaan mereka menyembah sesuatu buatan
mereka sendiri seperti patung, atau
menyembah matahari
dan benda-benda lainnya
yang mempunyai kelebihan.
Sebab dalam Islam
hal
tersebut adalah
syirik atau
menyekutukan Tuhan. Dalam Islam Tuhan itu satu
yaitu
Allah sedang
benda-benda
tersebut adalah
ciptaannya
dan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. sedang dalam Islam Tuhan adalah satu yaitu Allah
No comments:
Post a Comment