Wednesday, October 2, 2019

PERADABAN ARAB SEBELUM ISLAM


JAZIRAH ARAB, TATA SOSIAL DAN BUDAYA PADA ZAMAN JAHILIYAH

Untuk mengkaji tentang sejarah peradaban Islam kita perlu memahami tentang keadaan geografis, sosio-ekonomi, dan historis Jazirah Arab yang telah melahirkan agama Islam. Mengkaji asal-usul agama Islam dari berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, geografi dan politik hádala penting,  karena  untuk mengetahui kejadian secara komprehensif, maka harus dikaji dari berbagai dimensi dimana fenomena itu muncul.

A.  Geografis Jazirah Arab

Jazirah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti kepulauan, Arab secara etimologi berasal dari kata arabia berarti gurun pasir atau sahara. Menurut Nuldeke, seorang Ahli KeTimuran dari Jerman sebab sebagian besar wilayah Arab terdiri dari gurun pasir. Tetapi menurut Muhammad Hasyim Athiyah, kata Arab berasal dari kata abar artinya rahlah atau kembara, sebab bangsa Arab adalah bangsa yang suka berpindah.
Dari segi geografis sebenarnya Arab bukanlah sebuah kepulauan sebab dari empat penjuru perbatasannya masih ada satu yang tidak berbatasan dengan laut, yaitu di sebelah Utara Jazirah Arab berbatasan dengan gurun Iran dan gurun Syiria, di sebelah Selatan berbatasan dengan lautan Indonesia, di sebelah Barat berbatasan dengan lautan Merah, dan di sebelah Timur berbatasan dengan teluk Persia. Jazirah Arab terletak di sebelah Barat daya Asia, terbagi atas dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian tepi.
Pertama penulis akan membahas tentang keadaan Jazirah Arab bagian tengah. Bagian tengah Jazirah Arab terdiri dari tanah pegunungan yang tandus, karena itulah penduduknya nomaden, yakni hidup berpindah-pindah, mencari daerah yang subur, untuk makan bagi ternak mereka. Penduduk daerah ini dinamakan suku Badui yang mendiami daerah gurun pasir. Orang Badui ini senang hidup bebas, mereka enggan menetap dan enggan bercocok tanam. Wilayah ini termasuk di dalamnya adalah daerah Najed dan al-Ahqaf. Karena  penduduknya  berpindah-pindah  maka  mereka  tidak tenang  untuk menciptakan kebudayaan dan peradabannya.
Penduduk padang pasir ini mempunyai sifat berani, karena memang banyak mengalami kesulitan yang mengakibatkan keberanian tersebut. Tetapi keberanian ini sering disalahgunakan, di antaranya untuk memerangi penduduk yang menempati daerah subur. Sebab itu, sering terjadi peperangan merebutkan tempat-tempat subur di antara bangsa yang mendiami daerah tengah tersebut.
Adapun keadaan Jazirah Arab bagian tepi, terdiri dari tanah yang subur karena curah hujan cukup, dan penduduknya bukanlah pengembara. Wilayah ini adalah Yaman, Hijaz, Oman, Hadramaut. Karena mereka menetap, maka mereka berhasil menciptakan berbagai bentuk dari kebudayaan, mendirikan kerajaan-kerajaan, di antaranya adalah kerajaan Sabayang terkenal dengan kepemimpinannya, yaitu ratu Bulqis, kerajaan Himyar Manadhirah, dan kerajaan Chassniyah.
Mengenai Negeri Saba, dijelaskan dalam Al-Qur’an:
Sesungguhnya bagi kaum Saba ada  tanda  (kekuasaan  Tuhan)  di  tepi tempat kediaman mereka, yakni dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (lepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (Dianugrahkan) Tuhan-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) dan sedang (Tuhan-mu)  adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. ( QS. Saba [34]: 15).

Penduduk Yaman sudah memiliki sistem pengairan dengan membuat bendungan air untuk mengairi kebun-kebun dan tanah pertanian. Karena


bangsa ini sebagian besar penduduknya adalah pedagang, maka mereka juga berkunjung ke daratan lain seperti Hindia, Tiongkok dan Sumatra.
Gurun pasir sekitar Makkah, tempat kelahiran Islam adalah tempat yang tidak ramah, dan memperlihatkan cara hidup yang primitif. Philip K. Hitti dalam karyanya yang terkenal, History of The Arabs, dengan jelas menggambarkan, permukaan Arab hampir seluruhnya gurun pasir dengan daerah sempit yang dapat dihuni di sekitar pinggiran. Ketika jumlah penduduknya bertambah melampaui kapasitas tanah yang dapat menampungnya mereka harus mencari tanah yang luas. Tetapi mereka tidak dapat bergerak ke dalam karena gurun pasir atau keluar karena adanya laut. Keduanya merupakan batas-batas yang diklaim masa pra Islam hampir tidak dapat dilalui. Mereka kemudian menemukan satu jalan terbuka menuju Tepi Barat semenanjung Arab dan terus menuju Arab Utara dan semenanjung Sinai dan berakhir di lembah sungai Nil.
Sebagian besar daerah Arab adalah padang pasir sahara yang terletak di Tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu ia masih bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1.   Sahara Langit, memanjang 140 mil dari Utara ke Selatan dan 180 mil dari Timur ke Barat, disebut juga Sahara Nufud, Oase dan mata air sangat jarang. Tiupan angin sering kali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2.   Sahara Selatan, yang membentangi, menyambung Sahara Langit ke Timur sampai ke Selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan daratan yang keras, tandus dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan ar- Rub al-Khali (bagian yang sepi)
3.   Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berdebu hitam bagaikan terbakar gugusan batu-batu hitam yang menyebar di keluasan Sahara ini yang jumlahnya mencapai 29 buah.
Makkah tempat kelahiran Islam berada di pinggiran gurun pasir yang sangat luas. Gurun pasir ini dihuni oleh penduduk yang disebut Badui. Sebagaimana keturunan Semit, mereka adalah kelompok suku nomad, hanya beberapa yang tinggal di dekat Oase dan menjalani kehidupan yang menetap. Bagi kebanyakan suku Badui, nomadisme adalah watak mereka. Seperti halnya masyarakat industri yang telah menghasilkan kebiasaan dan cara hidup tertentu, masyarakat nomad juga mempunyai lembaga, kebiasaan dan kebudayaan mereka sendiri. Mungkin kita setuju dengan Philiph K. Hitti yang menyatakan bahwa nomadisme gurun pasir Arab itu sama dengan industrialisme di Detroit atau Manchester, yakni dalam menjalani realitas kehidupan yang mereka pahami.

B.  Agama Bangsa Arab Pra Islam

Agama bangsa Arab sebelum kedatangan Islam sangat beragam, ada yang menyembah Allah, ada yang menyembah Matahari, Bulan, Bintang, bahkan ada pula yang menyembah patung dan api. Ada pula yang beragama Nasrani dan Yahudi.
Ka’bah menjadi pusat tempat mereka beribadah. Menurut riwayat, dalam Kabah itu terdapat 360 buah patung yang bermacam-macam bentuk dan warna menurut kemauan masing-masing kabilah dan suku.
Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dilahirkan para Rasul yang membawa agama-agama yang kita kenali sampai saat ini. Berhadapan dengan agama Masehi yang terbesar, berdiri pula kesatuan agama majusi di India. Selama beberapa abad itu Austria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan, peradaban Barat dan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham



Masehi Barat dan Majusi Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama berabad-abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agama masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing mereka perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan dan peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus menerus sampai sekian lama.
Mayoritas penganut Yahudi tersebut bercocok tanam dan membuat alat- alat besi, seperti perhiasan, dan persenjataan. Begitu juga penganut Kristen, karena mereka sama-sama terpengaruh dari kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. Aliran Kristen yang masuk ke Jazirah Arab ialah aliran Nesturian di Hirrah dan aliran Jarob Barady di Ghasan. Daerah Kristen yang terpenting adalah Najran, sebuah daerah yang subur. Penganut agama Kristen tersebut berhubungan dengan Habasyah (Ethiopia), negara yang melindungi agama ini.
Kepercayaan terhadap agama tauhid ini lama-kelamaan berubah menjadi penyembahan terhadap berhala. Menurut riwayat Ibnu Khalbi dalam kitab al- Ashnam, perubahan kepercayaan itu terjadi karena adat bangsa Arab untuk membawa batu yang diambil dari sekeliling kabah bila mereka akan meninggalkan kota Makkah. Hal tersebut dilakukan karena mereka mencintai kota Makkah dan Kabahnya. Dimanapun mereka berada, batu yang mereka bawa dari sekeliling Kabah itu dipujanya sebagaimana mereka melakukan thawaf di sekeliling Kabah. Kemudian di antara batu-batu yang mereka puja itu dipindahkan di sekeliling Kabah. Maka penuhlah Ka’bah itu dengan berhala-berhala. Sebenarnya masih ada orang yang tetap mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa (Allah), tetapi terkontaminasi pada pemujaan berhala, sehingga mereka menjadikan berhala itu sebagai perantaranya. Sebagaimana dilukiskan dalam Al-Quran:
Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap)   agar mereka (berhala-berhala itu) mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.(QS. Az-Zumar [39]: 3)

Agama bangsa Arab bisa disebut humanisme suku artinya makna kehidupan itu terwujud dalam keunggulan sifat manusia, yaitu semua kualitas yang bisa sejalan dengan cita-cita kemanusiaan atau keberanian bangsa Arab. Sifat keunggulan ini berada di tangan suku, bukan terletak di individu, hal ini karena ia menjadi anggota suku. Yang menjadi tujuan setiap orang adalah menjaga kehormatan suku. Kehidupan akan bermakna bagi dirinya jika kehidupan itu terhormat dan semua tindakan yang menimbulkan aib dan rasa malu harus dihindari sebisa mungkin. Kota terpenting di daerah ini adalah Makkah. Kota suci tempat berdirinya Kabah. Pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut asli Makkah tetapi juga orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.

C.  Peradaban Bangsa Arab

Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu suku Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan suku Ismail (keturunan Nabi Ibrahim as.) sebagai pemegang kekuasaan atas Kabah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuzaah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur  urusan-urusan  politik  dan  urusan-urusan  yang  berhubungan dengan Kabah.
Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya menetap menimbulkan gangguan juga dalam Jazirah itu. Misalnya gangguan Raja-raja Yaman yang kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada


waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri lebih condong kepada agama Musa (Yudaisme), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama dari orang-orang Yahudi yang berpindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut oleh para ahli sejarah yang termasuk dalam kisah orang-orang yang membuat parit.
Bangsa Arab adalah bangsa pecinta syair. Penyair-penyair mereka sangat berpengaruh terhadap masyarakat. Tetapi karena sudah kemasukan faham kebendaan, maka syair mereka itu hanya memuja suku, kenikmatan, dan kemegahan. Rakyat bangsa tersebut mempunyai kebiasaan pagelaran puisi yang diselenggarakan di pasar-pasar seperti Ukaz dan Zulmajz. Biasanya syair atau puisi yang baik itu mereka gantungkan di Kabah dan berhala kebesaran mereka.
Kabilah-Kabilah Arab meriwayatkan al-ayyam (hari-hari penting) yang terdiri dari peperangan dan kemenangan, untuk tujuan membayangkan atau membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah lain, baik dalam bentuk syair maupun  prosa  yang  diselang-selangi  syair. Syair  itulah  yang melestarikan perpindahan dan mendiseminasikan berita itu. Apabila syair itu terlupakan, maka riwayat-riwayat kuno itu juga terlupakan. Hal inilah yag memungkinkan sejarawan masa Islam mengetahui masa itu tentang Arab. Meskipun tidak keseluruhannya menggambarkan kenyataan, berita itu bertolak dari realitas.
Bangsa Badui tidak mempunyai agama formal tertentu. Mereka tidak menyembah Tuhan. Meskipun mereka mempercayai adanya nasib. Mereka mempunyai sistem etika dan nilai sendiri. dalam masyarakat nomad pedalaman, kolektivisme suku beserta aturan perilaku yang tidak tertulis, jika diamati dengan cermat, mencegah timbulnya pertentangan pribadi meskipun konflik antar suku telah menimbulkan permusuhan dan peperangan dalam masyarakat suku. Karena kepentingan individu berada di bawah kepentingan bersama (kolektif). Konflik antar individu jadi berkurang. Oleh karena itu, masyarakat seperti ini tidak menghasilkan puisi tentang pahlawan besar, karena tidak ada pertentangan individu yang menjadi syarat terciptanya puisi tersebut. Puisi Jahilliyah (pra Islam) tidak menggambarkan tentang konflik pribadi, tetapi berisi nyanyian kemenangan suku dan pengekspresian etos keberanian, kemurahan hati, kehormatan dan keunggulan keturunan.
Perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara terhormat. Karena inilah timbul dikalangan kabilah-kabilah tersebut sifat-sifat prestise, keberanian, suka menolong, melindungi tetangga serta memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini makin kuat apabila semakin dekat kepada kehidupan pedalaman.
Peristiwa-peristiwa perang antar kabilah Arab itu diabadikan dalam banyak gubahan syair atau kisah yang diselingi dengan syair dengan maksud untuk membangga-banggakan   kabilah   satu   terhadap   kabilah   lain.   Syair   itu diwariskan secara turun temurun secara lisan. Syair-syair dan prosa tersebut pada awal Islam dihimpun secara tertulis pada abad II H./VIII M. dalam buku- buku terutama buku sastra. Diriwayatkan Abu Ubaidah (w. 211 H.) telah menghimpun 1200 peristiwa perang di dalam buku sastra yang kemudian menjadi referensi bagi yang datang sesudahnya. Buku ini tidak ditemukan lagi, tetapi ditemukan pada penjelasan-penjelasan para kritikus sastra atau sejarawan terhadap beberapa syair yang terdapat dalam buku tersebut, seperti pada buku Sejarah Lengkap karya Ibnu al-Atsar dan pada buku at-Taqd al- Farid (Kalung Unik) karya Ibnu Abd Rabbih.
Bentuk tradisi Arab pra Islam yang mengandung informasi sejarah lainnya adalah al-Ansab (jamak dari nasab: silsilah/geneology). Sejak masa jahiliyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan memelihara pengetahuan tentang nasab. Ketika itu pengetahuan tentang nasab ini merupakan salah satu cabang kajian yang dianggap penting. Setiap kabilah hafal akan silsilahnya. Semua


anggota   keluarga   menghafalkannya   agar  tetap  murni  dan  silsilah  itu dibanggakan terhadap kabilah-kabilah lain.
Makkah muncul sebagai pusat kota karena lokasi yang berada di sepanjang rute perdagangan yang membentang dari Arabia Selatan sampai Utara yang menjadi lalu lintas perdagangan mulai dari Mediteranian, teluk Persia, Laut Merah melalui Jeddah dan keluar ke Perbatasan Afrika. Kota Makkah menjadi semakin ramai karena menjadi persinggahan para pedagang yang melakukan perjalanan dagang. Di lokasi ini juga terdapat Ka’bah sebagai pusat peribadatan seja zaman dahulu dan juga terdapat sumur zam zam.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa peradaban bangsa Arab pra Islam sangat tinggi dan telah mengalami kemajuan pesat di berbagai bidang. Tetapi kenapa dikatakan jahiliyah? lalu di manakah letak kejahiliyahannya?
Jahiliyah berasal dari kata jahila-yajhilu yang berarti bodoh atau tiada tahu, kemudian dalam struktur gramatikal bahasa Arab menjadi masdar yaitu jahiliyah berarti kebodohan, keterbelakangan. Jahiliyah bisa juga berarti kebodohan atau keterbelakangan dalam hal agama.
Kata jahiliyah sendiri muncul setelah datangnya Islam, kata jahiliyah muncul dikarenakan beberapa tata sosial budaya bangsa Arab tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa Islam. Penulis kurang sepakat bahwa Arab pra Islam adalah jahiliyah bila ditinjau dari segi ilmu pengetahuan, arsitektur, sastra, kemajuan ekonomi dan lain sebagainya. Namun ada beberapa hal yang menjadi bukti untuk menjustifikasi bahwa mereka adalah jahiliyah menurut Islam maupun etika sosial saat ini adalah:
1.  Kebiasaan membunuh anak perempuan karena takut lapar dan malu.
Alasan mereka bahwa anak perempuan adalah biang dari petaka adalah
karena dari segi fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki, ketika
lemah secara otomatis akan menjadi batu sandungan bagi sang ayah atau
ketua kelompok dan tidak bisa diajak berperang. Dan akan mengurangi
pengaruh kabilahnya dalam percaturan dunia, penghambat pembangunan,
kurang bisa mandiri dan menggantungkan pada laki-laki dan itu semua
adalah aib bagi mereka maka harus ditutupi dan kalau perlu dibuang.
Dengan fenomena tersebut hak-hak perempuan tidak terpenuhi bahkan
tidak akan terpenuhi. Penghormatan dan pengagungan kaum perempuan
berubah  menjadi  pelecehan  seksual  dan  psikologi.  Peran  perempuan
dikerdilkan menjadi masak, macak, manak atau sebagai simbol seks dan
pelestari nasab. Inilah salah satu yang ditentang Islam sesuai dengan firman
Allah yang artinya “sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling bertaqwa.
2.   Kebiasaan  buruk  lainnya  adalah  kebiasaan  berperang  sesuai  dengan karakteristik geografis yang panas, tandus dan gersang akan membentuk karakter keras dan temperamental sehingga mudah terprovokasi dan terpecah belah, di samping itu perang akan membangun watak yang mudah curiga (paranoid), ambisius, dan trauma akut karena melihat peristiwa- peristiwa yang tidak manusiawi secara langsung atau mengalami peristiwa tersebut. Jika fenomena tersebut dipertahankan, maka persatuan bangsa Arab sulit dicapai, kecuali ketika mereka mempunyai pimpinan yang kuat. Kebiasaan berperang juga membangun watak yang waspada, teliti, optimis, dan setia kawan sebab itu adalah termasuk strategi dasar dalam berperang. Perang juga membuat orang jadi prihatin, tenggang rasa, dan mempunyai daya tahan hidup yang kuat dalam menghadapi cobaan sebagai akibat peperangan tersebut. Beberapa sifat di atas ternyata bangsa Arab mampu memimpin dunia selama 17 abad. Atas alasan apapun perang adalah tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung perdamaian meski dalam perbedaan sesuai dengan petikan ayat Al-Quran yang artinya Sesungguhnya Aku ciptakan kamu dalam berbagai suku, bangsa untuk saling mengenal”.



3.   Dalam hal kepercayaan bangsa Arab jahiliyah juga ditentang Islam. Yaitu kebiasaan mereka menyembah sesuatu buatan mereka sendiri seperti patung, atau menyembah matahari dan benda-benda lainnya yang mempunyai kelebihan. Sebab dalam Islam hal tersebut adalah syirik atau menyekutukan Tuhan. Dalam Islam Tuhan itu satu yaitu Allah sedang benda-benda tersebut adalah ciptaannya dan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. sedang dalam Islam Tuhan adalah satu yaitu Allah

No comments:

Post a Comment


ARTIKEL TERKAIT:



Manajemen
1. Kepemimpinan
2. Teori Kebutuhan Menurut Abraham Maslow