Monday, November 11, 2013

10 Waktu Mustajab Untuk Berdoa

Allah telah memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, sekaligus berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan mereka kepada-Nya apabila terpenuhi syarat-syarat dan adab-adabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): 

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mu’min: 60).

Dalam ayat diatas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, dan berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Bahkan sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam para hamba-Nya yang enggan untuk berdoa kepada-Nya karena telah jatuh kepada sifat kesombongan.

Para dasarnya, kita boleh berdoa kapan dan dimana saja. Akan tetapi, di sana ada waktu-waktu tertentu yang mempunyai nilai lebih untuk dikabulkannya doa. Pada posting kali ini, akan dijelaskan beberapa waktu-waktu mustajab untuk berdoa.
Diantara waktu-waktu mustajab untuk berdoa tersebut adalah:
1. Malam (lailatul) Qadar
’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Wahai Rasulullah, apa petunjukmu bila aku mendapati malam (laitul) Qadar itu, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Ucapkanlah (doa):
« اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي ».
”Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, mencintai perbuatan memberi maaf, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra).
2. Di sepertiga malam yang akhir dan di waktu sahur
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan salah satu sifat para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya (artinya):
”Dan pada waktu akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun.” (Adz-Dzariyat: 18)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
« يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ » .
”Rabb kita Yang Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam yang akhir seraya berfirman: ’Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkan doanya. Siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku berikan apa yang dimintanya. Siapa yang minta ampun kepada-Ku maka aku akan mengampuninya’.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Di akhir shalat fardhu
Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Wahai Rasulullah, doa apakah yang didengarkan (dikabulkan)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
« جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرُ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ »
”Doa yang dipanjatkan di tengah malam yang akhir dan di akhir shalat wajib.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra)
Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kata ((دُبُرَ)) dalam hadits diatas. Apakah maksudnya sebelum salam atau setelah salam dari shalat?
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam kitabnya, Zadul Ma’ad, 1/378:
”(( وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)) bisa jadi maksudnya sebelum salam dan bisa jadi setelahnya. Adapun Syaikh kami (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah) menguatkan pendapat yang menyatakan sebelum salam.”
Sedangkan Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah berpandangan di akhir setiap shalat fardhu adalah sebelum salam, sehingga doa itu dipanjatkan setelah selesai membaca tasyahhud akhir dan shalawat sebelum mengucapkan salam sebagai penutup ibadah shalat. Beliau rahimahullah berkata: ”Riwayat yang menyebutkan adanya doa yang dibaca di ((دُبُر الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَات)), berarti doa itu dibaca sebelum salam. Sedangkan dzikir yang dinyatakan untuk dibaca di ((دُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ)), maka maksudnya dzikir itu dibaca setelah selesainya shalat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): ”Apabila kalian telah selesai dari mengerjakan shalat, berdzikirlah kalian kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring diatas lambung-lambung kalian.” (An-Nisa`: 103).

4. Antara adzan dan iqamah
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ ».
”Tidak tertolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah.” (HR. Abu Dawud).

5. Satu waktu di malam hari
Jabir radhiyallahu ‘anhuma berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ ».
”Sesungguhnya pada malam hari ada satu waktu yang tidaklah bersamaan dengan itu seorang muslim meminta kepada Allah kebaikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintaan tersebut, dan itu ada di setiap malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan: “Pada hadits tersebut terkandung adanya penetapan satu waktu mustajab pada setiap malam, dan anjuran untuk berdoa di waktu-waktu malam dengan harapan bertepatan dengan waktu mustajab tersebut.” (Al-Minhaj, 3/95).

6. Ketika terbangun di waktu malam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang terbangun di waktu malam lalu mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . الْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
Kemudian mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Atau berdoa, maka dikabulkan (doanya). Dan jika berwudhu’ kemudian melaksanakan shalat maka shalatnya diterima.” (HR. Al-Bukhari)
Sebagian ulama mengatakan: “Dalam keadaan seperti ini lebih diharapkan terkabulkannya doa begitu juga diterimanya shalat  dibandingkan waktu/keadaan yang lainnya.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 8/311).

7. Ketika dikumandangkannya adzan dan dirapatkannya barisan, berhadapan dengan barisan musuh di medan tempur
Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Dua waktu/keadaan yang didalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan jarang sekali tertolak doa yang dipanjatkan ketika itu, yaitu saat diserukan panggilan shalat (adzan) dan saat berada dalam barisan di jalan Allah (ketika berhadapan dengan musuh di medan perang, pent).” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqy dalam Al-Kubra).

8. Suatu waktu pada hari Jum’at
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang hari Jum’at, beliau bersabda:
« إِنَّ فِى الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا يُزَهِّدُهَا».
”Sesungguhnya di hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah waktu tersebut bertepatan dengan seorang muslim yang sedang melaksanakan shalat, lalu meminta kepada Allah suatu kebaikan, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya untuk menunjukkan singkatnya waktu tersebut. (Muttafaqun ’alaihi).
Ulama berbeda pendapat tentang batasan waktunya. Ada yang mengatakan waktunya adalah saat masuknya khatib ke masjid. Ada yang mengatakan ketika matahari telah tergelincir, ada yang mengatakan setelah shalat ashar, dan ada pula yang mengatakan waktunya dari terbit fajar sampai terbit matahari. (Al-Minhaj, 6/379).
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/378), berpendapat bahwa pendapat yang lebih tepat dalam permasalahan ini adalah bahwa waktunya setelah shalat ashar, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Sesungguhnya pada hari Jum’at itu ada suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim memohon suatu kebaikan kepada Allah, kecuali pasti Allah akan mengabulkannya, dan waktunya adalah setelah shalat ashar.” (HR. Ahmad).

9. Ketika sujud
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ».
”Paling dekatnya seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang sujud maka perbanyaklah oleh kalian doa ketika sedang sujud.” (HR. Muslim).

10. Doa pada hari Arafah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ ».
”Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Baihaqy)

Doa adalah termasuk ibadah. Doa adalah kebutuhan makhluk kepada Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sudah semestinya kita mencukupkan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh junjungan dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam pelaksanaannya. 

Suatu misal, jika kita mau menggunakan pembukaan ketika hendak berdoa, maka bukalah doa tersebut dengan pembukaan yang syar’i (yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bukan dengan pembukaan-pembukaan yang tidak syar’i (yang tidak ada tuntunannya), karena akibatnya fatal, doa kita bisa tidak dikabukan. Disisi lain, kita bisa menuai dosa karena telah mengadakan perkara yang baru dalam urusan  agama. Sumber: Buletin Al Ilmu.

Friday, November 1, 2013

Antara "Mengajar dan Mendidik"

Berbicara tentang pengertian “MENGAJAR” kalau dilihat esensinya dalam proses belajar “MENGAJAR”, sudah menyangkut kegiatan “MENDIDIK”, dalam artian untuk mengantarkan anak kepada tingkat kedewasaanya, baik secara fisik maupun mental. Tetapi dalam uraian berikut ini mencoba membedakan, dengan suatu maksud memberikan suatu penanaman terhadap kenyataan yang kini sedang berkembang. Kenyataan yang dimaksud adalah keadaan proses dan hasil pengajaran di sekolah-sekolah. Sehingga pembedaan ini tidak bersifat esensial dan konseptual. Oleh karena itu maka kata “MENGAJAR” dan “MENDIDIK” akan ditempatkan di antara tanda petik (“……….”)
Memang kalau dilihat dari segi asal katanya, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda. ““MENGAJAR”” adalah memberi pelajaran, semisal pelajaran matematika, memberi pelajaran bahasa, memberi pelajaran geografi, agar siswa yang diajar itu mengetahui dan paham tentang bahan yang diajarkan tadi. Sedang ““MENDIDIK” “ adalah memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut umum, memang ““MENGAJAR”” diartikan sebagai usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa/anak didik. Jadi ““MENGAJAR”” lebih cenderung kepada transfer of knowledge.
Kenyataan ““MENGAJAR”” yang lebih menekankan transfer of knowledge, inilah justru banyak berkembang di sekolah-sekolah. Kebanyakan guru dan juga orang tua wali sudah merasa puas kalau para anak didik mendapatkan nilai baik pada hasil ulanganya. Jadi penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya. Yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara serius. Cara evaluasi yang dilakukan oleh oleh guru pun juga hanya melihat bagaimana hasil pekerjaan ujian, ulangan atau tugas yang diberikannya. Ini semua mendukung suatu pengertian bahwa ““MENGAJAR”” hanya terbatas pada soal kognitif dan paling-paling ditambah keterampilan dan masih jarang yang sampai pada unsur afeksi.
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan suatu kasus yang cukup menarik. Pada suatu hari ada seorang guru dan siswa dari suatu SMA, sama-sama naik Colt kampus. Di dalam Colt itu pun keduanya tidak pernah tegur sapa. Kemudian setelah sampai di depan gedung sekolahnya, guru itupun turun duluan dan siswanya dari belakang mengacungkan kepalan tanganya. Ilustri ini menunjukkan bahwa seorang guru tadi hanya diakui eksistensisnya sebagai guru kalau berada hanya di depan kelas saja, tetapi kalau di luar kelas sudah bukan apa-apa lagi, bahkan mungkin dianggap musuh karena guru itu dipandang sebagai guru yang kejam. Kejadian-kejadian lain banyak, misalnya para siswa mengeroyok gurunya, hanya karena nilai rapornya jelek atau karena tidak naik kelas. Padahal semua ini hanya sekedar symbol atau tahapan tertentu, bukan tujuan.
Kasus dan kejadian seperti dicontohkan di atas, sebagai petunjuk atau akbiat dari ““MENGAJAR”” yang hanya transfer of knowledge, dan subjek belajar seolah-olah hanya membutuhkan pengetahuan saja. Padahal tujuan belajar secara esensial, disamping untuk mendapatkan pengetahuan, juga keterampilan dan untuk pembinaan sikap mental. Dengan demikian tidak cukup kalau hanya dilakukan proses pengajaran yang transfer of knowledge. Itulah maka ““MENGAJAR”” harus sekaligus ““MENDIDIK””.
““MENDIDIK”” dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu ““MENDIDIK”” dikatakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak anak didik. Dibandingkan dengan pengertian ““MENGAJAR””, maka pengertian  ““MENDIDIK”” lebih mendasar. ““MENDIDIK”” tidak sekedar transfer of knowledge, tetapi juga transfer of values. ““MENDIDIK”” diartikan secara utuh, baik antara kognitif, psikomotorik maupun afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berpribadi.
Berkait dengan soal pembentukan kepribadian anak didik, maka ““MENDIDIK”” juga harus merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir suatu sikap yang baik.
Sehubungan dengan uraian dan kenyataan di atas, maka ““MENGAJAR”” dalam kegiatan belajar-”MENGAJAR” harus diterjemahkan secara konseptual, disinkronisasikan dengan pengertian ““MENDIDIK””. Oleh karena itu Raka Joni, memberikan batasan “MENGAJAR” adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh penegtahuan, keterampilan dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi.
(Sardiman, 2005:51)
Sumber : Sardiman. 2005. Interaksi dan motivasi belajar “MENGAJAR”. Jakarta. Raja Grafindo


ARTIKEL TERKAIT:



Manajemen
1. Kepemimpinan
2. Teori Kebutuhan Menurut Abraham Maslow